HUBUNGAN antara Siti Aisyah dan Sahabat Ali bi Abi Thalib sebelum wafatnya Nabi Muhammad saw normal dan harmonis, sebagaimana hubungan keluarga Nabi pada umumnya. Pasca wafatnya Nabi Saw, para sahabat mulai berbeda pendapat, terlebih pasca terbunuhnya Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.
Pasca terbunuhnya Utsman, umat Islam dari segi politik terpecah dan tidak lagi berada dalam satu suara. Sebagian menyuarakan untuk terus mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman bin Affan, termasuk salah satunya Ali.
Hanya saja kala itu masyarakat Madinah menuntut agar ada satu orang yang dijadikan pemimpin dan Ali ditunjuk untuk dibaiat. Ali pun akhirnya terpaksa memenuhi permintaan tersebut. Di sisi lain, Aisyah memandang bahwa semestinya pengangkatan pemimpin dilakukan di masa tenang dan damai, bukan pada masa konflik di kala umat Islam sedang mengusut pembunuh Utsman.
Kian hari kondisi makin memanas hingga terjadi peristiwa besar yaitu perang Jamal. Ada dua kelompok besar dari kaum Muslimin yang berhadapan, yaitu kelompok Ali dan kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair, di mana Aisyah mengendarai Unta yang diberi nama Askar.
Pada hari di mana 10 ribu orang terbunuh, Ali dan Aisyah sama-sama tidak menghendaki peperangan itu terjadi. Di kala Thalhah terbunuh, Ali mengucap “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, aku benci melihat suku Quraisy terbunuh”.
Tidak hanya Thalhah, sahabat yang cukup dekat dengan Nabi, yaitu Zubair akhirnya pun gugur. Tatkala Ali mendengarnya, ia berkata, “Berilah kabar gembira pada pembunuh Zubair, bahwa [pembunuhnya] akan masuk neraka.” (‘Abdurrahman al-Maqdisi, at-Tarikh al-Mu’tabar fi Anba` min Ghabar, [Suriah: Darun Nawadir, 2011], jilid I, hal. 266).
Pada saat peperangan berlangsung, Aisyah turun ke medan peperangan dengan menaiki untanya. Sebagaimana prajurit pada umumnya, Aisyah juga menjadi sasaran dan untanya dipanah supaya tumbang. Ketika mengetahui hal ini, Ali memerintahkan Muhammad bin Abu Bakr untuk membuat pelindung supaya Aisyah tidak terkena panah.
Faktanya, ketika Aisyah ingin meninggalkan Basrah pasca perang berakhir, Ali membekali seluruh kebutuhan dan barang bawaan. Ali memilih 40 perempuan warga Basrah untuk menemani Aisyah kembali.
Saat Aisyah keluar orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya, Aisyah mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Aisyah berkata : “Wahai anakku, tidak boleh ada yang saling mencaci di antara kita. Demi Allah, dahulu kala antara aku dan Ali tidak ada apa-apa kecuali sebagaimana yang terjadi antara seorang wanita dengan ibu mertuanya, dan Ali menurutku adalah yang terbaik.”