Bersenang-senang dalam Pandangan Islam

Kantamedia.com – Ujian iman dalam Islam salah satunya melalui penderitaan. Tidak dikatakan beriman manakala seorang muslim dalam hidupnya ditempa terlebih dahulu dengan berbagai penderitaan, memberikan penderitaan berupa sedikit ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta untuk menyeleksi hamba-hamba-Nya.

Allah berjanji akan mengangkat derajat manusia yang mampu menerima cobaan berupa derita dengan sabar, tenang, dan ikhlas. Sebagaimana tertera dalam QS. al-Baqarah ayat 155, Allah Swt berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (QS. al-Baqarah: 155).

Para sufi memaknai penderitaan ini sebagai wijhat min al-ta’arruf atau cara Tuhan menyingkapkan diri agar dikenali lebih dekat lagi, memperdalam kecintaan pada Ilahi, dan tidak tergoda pada kemolekan duniawi. Dampaknya, banyak kisah-kisah sufi yang tetap membiarkan dirinya hidup dalam keadaan miskin, kemalangan, dan tersiksa. Bahkan gambaran umum kita tentang sufi didominasi oleh bayangan laki-laki tua berpakaian compang-camping.

Kesan penderitaan sebagai alat ukur kualitas keimanan dalam perkembangannya membuahkan sikap keagamaan yang cenderung aneh. Rasa-rasanya semakin menderita semakin dekat dengan Tuhan. Akhirnya mereka kadang membuat-buat penderitaan dalam beragama. Ada orang yang tetap memaksakan puasa saat bepergian, enggan melaksanakan salat jamak saat dalam perjalanan, dan melakukan sembahyang salat lengkap dengan sajadah dan mukena di tengah-tengah keramaian terminal.

Ketaatan yang keras kepala ini sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan kualitas keimanan.

Padahal Nabi Saw pernah menegur sahabat yang beribadah secara berlebih-lebihan. Kisah yang direkam Aisyah ini menceritakan tiga orang sahabat yang mengaku menjalankan agamanya dengan baik. Masing-masing dari ketiga sahabat itu mengaku rajin berpuasa dan tidak berbuka; selalu salat malam dan tidak pernah tidur; dan tidak menikah lantaran takut mengganggu ibadah. Rasulullah saat itu menegaskan bahwa ‘aku yang terbaik di antara kalian’. Karena Nabi berpuasa dan berbuka, salat malam dan tidur, dan menikah.

Nabi Saw sadar bahwa tujuan utama diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak bukan untuk memberikan penderitaan kepada orang-orang beriman. Dalam QS. al-Anbiya ayat 107 ditegaskan bahwa “Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta”. Kalau pun diberikan sedikit penderitaan, Allah telah pastikan dalam QS. al-Baqarah ayat 286 bahwa laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Dengan demikian, Islam tidak mengajarkan pencapaian prestasi spiritual melalui penderitaan. Memang pelaksanaan kewajiban agama itu ada yang menyukarkan, namun kesukarannya berada dalam kewajaran manusiawi. Apabila terdapat kesukaran yang di luar batas manusiawi, maka terdapat kaidah-kaidah dan asas-asas yang memayungi dan memberi keringanan.

Islam mewajibkan kepada umatnya agar mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah Swt. Itulah orientasi tunggal yang harus dipegang oleh kaum muslimin ketika menjalani kehidupan. Islam lalu memerintahkan umatnya agar melaksanakan perintah Allah dengan segenap potensi yang ia miliki dan tidak melanggar larangan-larangan Allah.

TAGGED:
Bagikan berita ini

KANTAMEDIA CHANNEL

YouTube Video
Bsi