4. China
China juga menjadi salah satu negara yang mengalami resesi seks. Biro Statistik Nasional China pada April lalu melaporkan bahwa populasi Negeri Tirai Bambu itu turun menjadi 1,412 miliar tahun 2020 dari 1,413 miliar pada 2021. Ini merupakan pertumbuhan alami negatif untuk pertama kalinya sejak 1960.
Melihat hal ini, sembilan sekolah vokasi di China bahkan membuat program untuk memberikan libur selama satu minggu saat musim semi kepada mahasiswanya. Mereka diliburkan untuk ‘menemukan cinta’ di luar kampus.
Menurut laporan Insider, sekolah-sekolah di bawah Fan Mei Education Group telah meliburkan para mahasiswanya dari 1 April hingga 7 April 2023 lalu. Selama liburan, para mahasiswanya ditugaskan untuk bersenang-senang.
Pengumuman libur ini muncul di tengah masalah ‘resesi seks.’ Negeri Tirai Bambu terus melihat penurunan angka pernikahan dan kelahiran. Sebelumnya, sejumlah perusahaan lokal, provinsi, dan kota telah melakukan sejumlah upaya untuk menghentikan masalah tersebut, salah satunya dengan memberikan 30 hari cuti pernikahan.
Pemerintah China sendiri telah menghapus kebijakan satu anak pada tahun 2016 dan menghapus batas kelahiran pada tahun 2021. Namun, pasangan menikah memiliki lebih sedikit anak, atau memilih untuk tidak memiliki anak sama sekali.
Terbaru, Presiden Xi Jinping bahkan meminta perempuan-perempuan di China untuk menikah dan membesarkan anak di tengah anjloknya angka pernikahan, kelahiran, dan pesatnya populasi tua yang melanda negara tersebut.
5. Thailand
Thailand dihadapi ‘resesi seks’ yang menyebabkan angka kelahiran terus menyusut di tengah populasi yang kian menua. Tren demografis di negara tersebut telah mengalami penurunan selama lima tahun terakhir.
Per 2020, menjadi berada di 1,24, lebih rendah dari tingkat penggantian populasi sekitar 1,6. Laporan tersebut bak menjadi pukulan ganda bagi Thailand.
Hal ini membuat pemerintah mendorong banyak pasangan untuk memiliki bayi. Melihat ini, para ahli keluarga berencana meminta pemerintah memberikan perhatian lebih pada populasi yang menua agar tetap produktif.
“Kita harus memikirkan kembali persepsi kita tentang demografi senior. Karena jika kita tidak mengubah tantangan ini menjadi peluang, itu tentu akan terjadi krisis,” kata Asisten Profesor Piyachart Phiromswad, yang berspesialisasi dalam ekonomi kependudukan di Thailand, dikutip dari The Guardian.