Pengadilan Kriminal Internasional Tangkap Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte

Kantamedia.com – Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, pada 11 Maret 2025. Duterte, resmi ditahan pada Rabu (12/3/2025).

Perintah penangkapan dikeluarkan atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh mantan presiden tersebut selama perang narkoba yang telah menelan banyak korban.

Penangkapan tersebut dilakukan karena ICC menilai bahwa Pemerintah Filipina tidak mempunyai niat atau tidak mampu mengadili perkara kejahatan kemanusiaan yang berat dalam pengadilan nasionalnya, yaitu belum ada upaya exhaustive dalam di dalam negerinya sehingga ICC menerapkan yurisdiksinya terhadap mantan kepala negara Duterte.

Setelah ditahan oleh ICC, Duterte diterbangkan dengan penerbangan carteran ke Den Haag, Belanda.

Dengan alasan perlunya menyelamatkan warga Filipina dari bahaya narkoba, pemimpin tersebut ketika masih berkuasa dengan gencar melakukan kampanye anti-narkoba secara besar-besaran yang menyebabkan ribuan orang dibunuh tanpa melalui proses hukum.

Dalam sebuah video yang dibagikan di halaman Facebook pribadinya dan seorang penasihat dekatnya, Duterte mengatakan bahwa dia adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas aparat penegak hukum dan militer.

“Saya telah mengatakan kepada mereka bahwa saya akan melindungi mereka dan bertanggung jawab atas semua ini,” tulis Rodrigo Duterte seperti dilansir Channel News Asia, Kamis(13/3/2025).

Pria berusia 79 tahun itu menjadi mantan kepala negara pertama di Asia yang menghadapi dakwaan di ICC.

Investigasi ICC terhadap Duterte dimulai pada Maret 2018 mencakup dugaan kejahatan yang dilakukan dari tahun 2011-2019. Meliputi masa jabatan Duterte sebagai wali kota Davao City dan kemudian sebagai presiden.

Baca juga:  Mantan Presiden AS Donald Trump Serahkan Diri ke Penjara Fulton, Hadapi 13 Dakwaan Kejahatan

Surat perintah penangkapan merinci peranan sentral Duterte dalam melakukan dugaan kejahatan, khususnya kebijakan untuk memberantas narkoba tanpa melalui proses hukum atau extra-judicial killings.

Surat perintah penangkapan dikeluarkan karena terdapat adanya “dugaan yang kuat bahwa Duterte telah melakukan kejahatan kemanusiaan berat dan berada dalam yurisdiksi ICC dan perlu dilakukan penangkapan”.

Di lain pihak Duterte telah lama mempertanyakan yurisdiksi dan legitimasi ICC. Dalam pandangannya ICC adalah penghalang dalam menjamin keamanan dan ketertiban di negaranya dari ancaman dan bahaya narkoba.

Dia juga secara konsisten memandang ICC mempunyai sikap bias yang dilakukan oleh negara-negara Barat untuk merusak kedaulatan negaranya. Setelah tidak menjabat tahun 2022, Duterte merasa yakin bahwa dia akan terus berada di luar jangkauan ICC.

Bahkan setelah memenangkan pemilihan umum Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos pernah berjanji bahwa mantan presiden itu tidak akan tersentuh oleh ICC mengingat bahwa pengadilan tersebut tidak memiliki yurisdiksi terhadap Filipina.

Namun demikian dengan retaknya hubungan aliansi dinasti Marcos-Duterte, maka kemudian pada Januari 2025, Marcos Jr. mengubah pendiriannya dan mengatakan dia akan “merespons secara positif” perintah penangkapan oleh ICC dan akan bekerja sama dengan Organisasi Polisi Kriminal Internasional (Interpol).

Pemerintahan Marcos Jr. pada akhirnya telah memobilisasi 7.000 personel kepolisian untuk melaksanakan surat perintah tersebut. Presiden saat ini menegaskan bahwa penangkapan dilakukan karena Filipina sebagai anggota dari badan polisi dunia Interpol wajib mematuhi permintaan Interpol untuk menangkap dan menyerahkan Duterte kepada ICC.

Baca juga:  KKB Serbu Gereja dan Rampas Barang Jemaat di Papua

Dengan penangkapan tersebut dipastikan Duterte akan membela diri dengan mempermasalahkan yurisdiksi ICC mengingat bahwa Fipilina telah menarik diri dari Statuta Roma tahun 2019 serta menentang kewenangan ICC dengan mengatakan pengadilan tersebut tidak dapat memeriksanya berdasarkan prinsip komplementaritas—suatu postulat bahwa ICC hanya bisa menangani suatu perkara ketika lembaga-lembaga penegak hukum di Filipina tidak mau atau tidak mampu (unwilling and unable) menyelidiki dan menuntut Duterte atas tindakan yang sama.

Penangkapan Duterte adalah momen besar dan penting dalam penegakkan hukum internasional. Selain daripada itu penangkapan tersebut juga dapat dijadikan sebagai pengingat bagi para pemimpin dunia lainnya, bahwa para terduga pelaku tindak pidana internasional dapat ditangkap dan diadili di mana pun mereka berada.

Jejak Kontroversial Duterte

Rodrigo Duterte, mantan Presiden Filipina, meninggalkan warisan yang penuh dengan kontroversi. Sejak menjabat pada tahun 2016, Duterte dikenal luas dengan kebijakan kerasnya, terutama dalam perang melawan narkoba yang mengundang kecaman global.

Diklaim sebagai salah satu langkah yang menekan peredaran narkoba, namun laporan dari berbagai organisasi internasional mencatat bahwa lebih dari 6.000 orang tewas dalam operasi ini. Angka ini menunjukkan dampak besar dari kebijakan yang diterapkan pemerintahannya.

Baca juga:  Jepang Prediksi Akan Terjadi Gempa 9 Magnitudo, Tewaskan Ratusan Ribu Orang

Banyak yang menganggap tindakan ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia, namun bagi sebagian kalangan di Filipina, langkah tersebut dianggap perlu untuk membasmi kejahatan narkoba yang merajalela.

Selain kontroversi terkait narkoba, Duterte juga dikenal dengan pendekatan yang tegas dan sering kali dianggap mengabaikan norma internasional. Kebijakan luar negeri yang diambilnya pun tak kalah memicu reaksi dunia, terutama dalam hubungannya dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Israel.

Duterte mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap Washington dan kebijakannya yang cenderung tidak sesuai dengan kepentingan Filipina, sementara pada saat yang sama, ia juga mengembangkan hubungan dekat dengan negara-negara seperti China.

Dalam dinamika internasional, Duterte kerap dibandingkan dengan sejumlah pemimpin populis lainnya, seperti Donald Trump dari Amerika Serikat, berkat gaya kepemimpinan yang tegas dan tanpa kompromi. Bahkan, Duterte dijuluki “Trump dari Asia” oleh beberapa pihak, karena gaya retorikanya yang keras dan kerap berbicara kontroversial.

Namun, seiring berjalannya waktu, politik luar negeri Duterte juga menunjukkan kompleksitas, salah satunya dengan hubungan yang semakin erat dengan Israel. Salah satu yang menarik perhatian adalah hubungan Duterte dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Kedua pemimpin ini diketahui memiliki pandangan yang serupa dalam sejumlah isu, termasuk kebijakan luar negeri yang menantang arus utama, meskipun gaya kepemimpinan mereka sangat berbeda. (*)

Bagikan berita ini

KANTAMEDIA CHANNEL

YouTube Video
Bsi