Sampit, kantamedia.com – Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Bangkitgiat Usaha Mandiri (BUM) di wilayah Kecamatan Antang Kalang Kabupaten Kotawaringin Timur, hingga kini tak kunjung berakhir. Bahkan konflik itu telah berlangsung hingga puluhan tahun.
Masyarakat menuding, hal itu akibat penegakan hukum yang berjalan sebagaimana mestinya.
“Hampir 1/4 abad sudah kami bertetangga dengan PT BUM yang memasuki wilayah kami, sampai sekarang tidak ada sejengkal pun lahan plasma untuk warga kami, hasilnya hanya janji-janji,” ujar Margono, salah seorang warga Antang Kalang, di Sampit, Senin (3/7/2023).
Padahal menurut Margono, PT BUM telah melakukan kesepakatan kemitraan sejak 12 November 1998, bahkan ini sudah melakukan perjanjian dengan koperasi sudah ada MoU-nya tentang kesanggupan perusahaan.
“Tapi sampai sekarang hanya janji-janji kepada warga,” ujarnya.
Karena itu, menurut dia, masyarakat menuntut PT BUM untuk mengembalikan lahan yang selama ini dimanfaatkan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut.
“Lahan 2.350 hektare kembalikan saja kepada masyarakat adat, karena PT BUM telah gagal bermitra dengan masyarakat dan tidak memenuhi hak dan kewajibannya,” sebut Margono.
Tuntutan itu, jelas dia, sesuai hasil somasi yang dilayangkan oleh masyarakat dan disepakati instansi, termasuk Bupati Halikinnor, DPRD, Polres dan Dandim 1015 Sampit, makan lahan tersebut akan dikembalikan ke masyarakat, karena PT BUM dinilai gagal bermitra dengan masyarakat .
Namun sayangnya, menurut Margono, pihaknya menilai Pemkab Kotim sendiri tidak berani menerapkan aturan yang mereka buat sendiri misalnya Peraturan Bupati (perbup) tentang rencana aksi daerah perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Kabupaten Kotawaringin Timur tahun 2020-2024.
Selama ini kata Margono lagi, warga lokal dan warga transmigrasi sudah melakukan berbagai cara menuntut haknya, menyurati dan bahkan memberi somasi, tapi tidak ada tanggapan sama sekali dari pihak perusahaan.
“Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus tahu bagaimana PT BUM ini,” tandasnya.
Sardi, warga Antang Kalang lainnya, menilai proses hukum yang sedang berjalan saat ini merupakan sebuah bentuk diskriminasi hukum terhadap warga transmigrasi yang sedang membela haknya.
“Bilamana kepala desa beserta warga mempertahankan hak, maka dianggap pengrusakan? Dimana letak keadilan bagi kami warga transmigrasi yang haknya dirampas, lalu ditinggal diam,” tegasnya.
Sementara ini menurut Sardi, pihaknya sudah melakukan koordinasi pemerintah kabupaten maupun pemerintah provinsi, namun tetap saja perusahaan ini membangkang ingin mengambil paksa tanah masyarakat tanpa melakukan komunikasi kesepakatan dengan masyarakat setempat.
“Padahal perusahaan ini sudah ada janji menyejahterakan warga lingkungannya, tapi selama ini PT BUM berdiri belum sama sekali memberikan kontribusi warga lingkungannya, kebanyakan janji kosong, apalagi PT ini seakan arogan, masalah belum sudah selesai sudah mendirikan pos lagi,” bebernya.
“Seharusnya warga sekitar diperdayakan untuk peningkatan taraf hidup masyarakat. Bila muncul hal negatif itu bukan kesalahan itu kurang pembinaan perusahaan ke warga. Padahal pemerintah berkomitmen pemberantasan kemiskinan,” pungkas Sardi. (wsn/jnp)