Kantamedia.com – Setiap menjelang Hari Raya, khususnya Idulfitri, tradisi mudik seakan menjadi hal yang dianggap sebuah kemestian, berujung menjadi rutinitas tahunan yang umum terjadi di Indonesia.
Di Indonesia, “tradisi” mudik dan momen menjelang Ramadan ataupun Lebaran merupakan suasana dan momen yang sangat dinanti dan meriah.
Perjalanan ke kampung halaman yang dilakukan secara massal, dan difasilitasi oleh pemerintah dalam penyelenggaraannya.
Lebaran dan mudik seperti dua hal yang tidak bisa terpisahkan dan merupakan momen yang sangat ditunggu-tunggu khususnya oleh para perantau dan umat Muslim.
Selain aspek budaya dan agama, pulang kampung atau mudik bisa menjadi sebuah aktivitas traveling.
Mudik menjadi traveling massal yang dilakukan oleh mayoritas rakyat Indonesia. Seluruh moda transportasi digunakan, seperti mobil pribadi, pesawat, kereta, kapal laut, motor, dan bus. Inilah sebabnya banyak timbul kemacetan di mana-mana jika pelaksanaannya tidak disiapkan dengan matang.
Tahun ini diprediksi 123 juta orang mudik. Tiap tahun angka ini naik seiring pertumbuhan jumlah penduduk. Mudik didominasi pergerakan kaum urban lintas Jawa, dari Jabodetek menuju Jawa Tengah atau ke Jawa Timur.
Mudik mengandung hikayat dan sejarah
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Bondan Kanumuyoso mengamini fenomena pulang kampung memang sudah berlaku sejak terjadi perpindahan manusia dari daerah pedalaman menuju urban.
Secara etimologis, Bondan membenarkan teori kata ‘udik’ yang berasal dari bahasa Melayu kuno yang berarti selatan/hulu.
Hal ini merujuk ketika Jakarta masih bernama Batavia. Di masa itu, wilayah di luar tembok kota bagian selatan menyuplai hasil bumi untuk kota Batavia.
“Banyak orang yang ketika itu bermigrasi masuk ke Jakarta melakukan urbanisasi. Nah di kota besar kan budayanya sangat berbeda jauh dengan kehidupan di desa sehingga ada rasa kerinduan,” jelas Bondan beberapa waktu lalu, dilansir CNN Indonesia.
Tapi menurut Bondan, fenomena tersebut belum cukup kuat untuk menggambarkan definisi mudik seutuhnya. Bagi Bondan, mudik di era kolonial tidak mesti dikaitkan dengan perayaan Idulfitri karena berbenturan dengan nilai kolonial yang diterapkan kala itu.
“Sebelum itu ya mana ada mudik, mana mungkin dulu pemerintah kolonial mengakomodir transportasi sebegitu masif?” sambungnya.
“Mudik di era modern kemudian baru populer tahun 1970-an,” kata Bondan.
Pendapat lainnya menyebutkan, dahulu antara mudik dan lebaran tidak memiliki kaitan satu sama lain. Dalam bahasa Jawa ngoko, Mudik berarti ‘Mulih dilik’ yang berarti pulang sebentar saja.