Kantamedia.com – Persoalan besaran uang kuliah tunggal (UKT) akhir-akhir ini menjadi sorotan di berbagai kampus negeri terkemuka di Indonesia. Penentuan besaran UKT dinilai tak adil, karena anak kurang mampu bayar kuliah mahal, dan kemungkinan lain, anak orang kaya bayar lebih murah.
Berdasarkan Permendikbud No. 55 Tahun 2013 pasal 1 ayat 3, menjelaskan setiap mahasiswa membayar UKT per semester. Program UKT adalah sistem penentuan pembayaran mahasiswa di PTN. Sistem pembayaran ini dilakukan di awal semester. Sistem UKT menganut subsidi silang yaitu membayar sesuai kemampuan ekonomi mahasiswa.
Lantas bagaimana sebenarnya kampus menentukan besaran UKT mahasiswa? Apa saja standarnya?
Besaran UKT dibagi menjadi beberapa kelompok. UKT semakin tinggi disesuaikan dengan ekonomi orang tua mahasiswa.
Terkait ini, Plt. Sekretaris Dirjen Dikti Kemendikbudristek, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie memberi jawaban. Katanya, semua tergantung data-data pribadi sang mahasiswa baru.
Data tersebut mencakup penghasilan yang dari orang tua mahasiswa, aset yang dimiliki keluarga mahasiswa, hingga tanggungan dari keluarga mahasiswa.
Menurut Tjitjik, dengan terbatasnya biaya dari negara untuk membantu perguruan tinggi, maka ditetapkan sebuah program UKT Berkeadilan. UKT Berkeadilan merupakan kategori UKT berdasarkan kemampuan dari orang tua atau wali mahasiswa.
“Makanya pada saat daftar ulang pertama kali itu ada berapa penghasilan ibu? Berapa penghasilan bapak? Berapa kemudian tanggungan saudara kandungnya atau tanggungan anaknya? Berapa kemudian contohnya dilampirkan foto rumahnya? Berapa tagihan listriknya? Berapa kemudian PDAM-nya?” ujar Tjitjik dalam paparannya di kantor Kemendikbudristek, Jakarta Pusat, Rabu (15/5/2024).
Data ini dibutuhkan sebagai syarat daftar ulang agar besaran UKT mahasiswa dapat ditentukan sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarganya.
Hal ini juga sebagai langkah agar penentuan UKT kuliah menjadi tepat sasaran kepada keluarga mahasiswa yang betul-betul membutuhkan.
UKT untuk kelompok kurang mampu dibagi dua. UKT 1, Rp 0 sampai Rp 500 ribu dan UKT 2 Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. Namun, hanya 20 persen dari mahasiswa baru yang bisa menikmati ini. Sementara sisanya, UKT 3 sampai UKT 9 tergantung kampus.
“Ini tujuannya untuk apa? Untuk memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat bergotong royong dalam pembiayaan pendidikan tinggi secara berkeadilan. Jangan sampai anaknya tukang becak dikenakan UKT Rp 5 juta,” ucap Tjitjik.
Lebih lanjut Tjitjik Sri Tjahjandarie, mengungkapkan bahwa ada perguruan tinggi negeri yang mengenakan uang kuliah tunggal (UKT) yang sama harganya dengan biaya kuliah tunggal (BKT).
Meski demikian, perguruan tinggi yang mengenakan UKT lebih rendah dari BKT juga masih mendominasi. BKT merupakan biaya keseluruhan dari biaya operasional setiap mahasiswa dalam satu semesternya. Sedangkan uang kuliah tunggal (UKT) merupakan sebagian biaya yang ditanggung mahasiswa setelah dipotong oleh bantuan pemerintah dari keseluruhan BKT.
“Tetapi secara umum, kalau anda melihat memang ada beberapa perguruan tinggi yang menetapkan batas UKT tertingginya itu sama dengan BKT. Tapi, lebih banyak perguruan tinggi yang menetapkan batas UKT tertingginya itu masih jauh di bawah BKT,” ujar Tjitjik
Tjitjik juga menegaskan, pemerintah tidak bisa menggratiskan biaya kuliah yang merupakan pendidikan tersier. Kemendikbudristek memprioritaskan pendanaan pendidikan terpusat pada program wajib belajar 12 tahun, program ini mencakup pendidikan SD, SMP, dan SMA.
“Sebenarnya ini tanggungan biaya yang harus dipenuhi agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu, tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar,” ujar Tjitjik.
Kemudian, dengan tidak masuknya pendidikan tinggi ke dalam program wajib belajar, maka pendanaan dari Kemendikbudristek terpusat pada instansi yang masuk ke dalam wajib belajar 12 tahun.