Kantamedia.com – Dewan Pers tegas menolak draft Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran karena isinya dinilai bisa memberangus kebebasan pers dan membuat jurnalis sulit menghasilkan karya jurnalistik berkualitas.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengungkapkan penolakan terhadap draft RUU tersebut dalam berbagai argumentasi. Pertama adalah terkait politik hukum di mana tak dimasukkanya Undang-Undang 40 Tahun 1999 dalam konsideran RUU Penyiaran.
“Ini mencerminkan bahwa tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform,” kata Ninik dalam konferensi pers di Kantor Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2024).
Kedua, RUU Penyiaran menjadi salah satu penyebab jurnalis tidak merdeka, tidak independen dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas karena dalam konteks pemberitaan.
“Dewan Pers berpandangan perubahan ini diteruskan sebagian aturan-aturannya akan menyebabkan pers menjadi produk pers yang buruk, pers yang tidak profesional dan tidak independen,” ujar Ninik.
Ketiga, dari sisi proses RUU penyiaran tersebut menyalahi putusan MK nomor 91/PUU-XIII/2020 bahwa penyusunan sebuah regulasi harus banyak yang terlibat dan berpartisipasi didalamnya.
“Maknanya apa? Harus ada keterlibatan masyarakat, hak masyarakat untuk didengar pendapatnya, haknmasyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya,” ucap Ninik.
“Kalau masukan-masukan masyarakat itu tidak di integrasikan, bahkan para penyusun kebijakan diminta untuk menjelaskan kenapa masukan-masukan itu tidak diintegrasikan dan dalam konteks RUU penyiaran ini, dewan pers dan konstituen selaku penegak UU 40 tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU ini,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Yadi Hendriana juga memberikan catatan-catatan terkait draft RUU penyiaran tersebut. Dirinya turut menyoroti peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pers.
“Pasal 25 ayat 1 huruf q yang menyatakan KPI boleh menyelesaikan sengketa jurnalistik di Bidang Penyiaran. Pasal ini tentu akan bertentangan dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999,” kata Yadi saat dihubungi, Sabtu (11/5/2024).
Yadi menjelaskan bahwa sengketa pers diselesaikan oleh Dewan Pers sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
“Karena sengketa pers itu seperti dalam Pasal 15 mengenai fungsi-fungsi Dewan Pers itu salah satunya itu adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers,” kata Yadi.
“Jadi memang Dewan Pers ini satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menyelesaikan sengketa pers,” sambungnya.
Yadi menilai kewenangan KPI untuk menyelesaikan sengketa pers akan memberangus kebebasan pers. Menurutnya KPI tidak menjadi bagian dari rezim etik, sedangkan Dewan Pers menjadi bagian rezim tersebut.
“Jadi itu jelas akan memberangus pers kalau seandainya ini ada juga,” kata Yadi.