Kantamedia.com – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir menegaskan, Muhammadiyah tidak membungkam kritik, melainkan bersikap atas anarkistik dan kesewenang-wenangan orang atas nama apapun yang merasa benar sendiri, serta menggunakan kekuasaannya untuk membungkam dan mengerangkeng yang berbeda.
Hal itu tegas disampaikan Haedar Nashir di acara Ideopolitor yang diselenggarakan di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta pada Sabtu (6/5/2023).
Haedar menegaskan bahwa Muhammadiyah santai dalam perbedaan. “Muhammadiyah santai-santai saja dalam perbedaan pendapat. Akan tetapi terkait penggunaan kekuasaan untuk mengerangkeng perbedaan itulah yang dilawan oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah juga tidak melakukan hal yang sama,” ujarnya, dilansir laman resmi Muhammadiyah.
Terkait dengan tindakan Muhammadiyah, Haedar meminta supaya masyarakat khususnya pelaku media supaya cerdas dalam membedakan antara kritik dengan provokasi. Sebab provokasi dapat mengakibatkan reaksi untuk bertindak kekerasan.
“Muhammadiyah tidak takut dibilang membungkam kritik, karena kita tidak membungkam kritik. Kita membungkam anarkistik/kesewenang-wenangan orang atas nama apapun dan kemudian dia merasa benar sendiri,” tutur Haedar.
Haedar menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak anti kritik, melainkan Muhammadiyah sangat tegas terhadap penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang dan digunakan untuk membungkam yang berbeda.
Laporan terhadap Peneliti BRIN
Ketua Hukum dan Advokasi Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Nasrullah menegaskan dorongan atas proses hukum terhadap Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tersebut, terkait dampak pernyataan yang memicu ujaran kebencian serta ancaman pembunuhan oleh Andi Pengerang Hasanuddin (APH).
“Laporan kami (Pemuda Muhammadiyah) ke Bareskrim jelas tertuju pada statemen saudara AP Hasanuddin terkait dugaan ujaran kebencian dan menakut-nakuti sebagaimana diatur dalam UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), yang itu (laporan) tidak ada terkait dengan kritikan Thomas Djamaluddin kepada Muhammadiyah,” ujar Nasrullah dalam siaran pers, Jumat (5/5/2023).
Akan tetapi, kata Nasrullah menerangkan, jika menengok kronologis perbuatan yang dilakukan oleh APH, akar muasal tindak pidana yang dilakukannya berawal dari unggahan komentar peneliti senior BRIN Thomas Djamaluddin.
“Bila nantinya penyidik memperluas penyidikannya terhadap AP Hasanuddin hingga ke statemen saudara Thomas Djamaluddin yang diduga menjadi pemantik persoalan, itu merupakan kewenangan penyidikan,” sambung Nasrullah.
Dilain pihak, Thomas Djamaluddin justru menjawab desakan Pemuda Muhammadiyah tersebut dengan mengatakan, sikap Muhammadiyah yang melakukan pelaporan dan ‘paksaan’ penjeratan pidana sebagai sikap anti serta bentuk pembungkaman terhadap kritikan.
“Muhammadiyah yang saya hormati karena semangat tajdid akan mencatatkan dalam sejarah sebagai organisasi pembungkam kritik? Semoga masih ada akal sehat untuk mempertimbangkannya,” kata Thomas, Rabu (3/5/2023).
Sementara pada Minggu (30/4/2023), penyidik Direktorat Tindak Pidana (Dirtipid) Siber Bareskrim Polri menangkap APH di Jombang, Jawa Timur (Jatim). APH pun ditetapkan tersangka. Penyidik membawa APH ke Jakarta untuk ditahan di Rutan Bareskrim.
Penyidik menjerat APH dengan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) dan atau Pasal 29 juncto Pasal 45B UU ITE 11/2008-19-2016. Sangkaan tersebut terkait tindak pidana ujaran kebencian terhadap individu, atau kelompok tertentu berdasarkan SARA. Serta menakut-nakuti yang ditujukan pribadi. APH terancam pidana enam tahun penjara. (*/jnp)