Kantamedia.com – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kasus HIV pada tahun ini. Data menunjukkan bahwa ibu rumah tangga (IRT) merupakan salah satu kelompok yang memberikan kontribusi terbesar, mencapai 35 persen dari total kasus yang dilaporkan. Akibatnya, terjadi penambahan sebanyak 5.100 kasus baru pada kelompok IRT setiap tahun.
Dr. Arief Hargono, seorang Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR), memberikan tanggapannya mengenai fenomena ini. Ia menyatakan bahwa fenomena ini bukanlah hal baru dan telah terjadi sebelum adanya pandemi Covid-19.
“Kasus ini sangat memprihatinkan karena data yang ada menunjukkan bahwa jumlah IRT yang terinfeksi HIV lebih tinggi daripada wanita pekerja seks atau penyuka sesama jenis,” ujar Arief.
Menurut Arief, ada beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan fenomena ini. Pertama, jumlah kasus HIV memang tinggi di masyarakat. Kedua, peningkatan ini mungkin terkait dengan dampak dari pandemi Covid-19.
“Selama pandemi, semua upaya kesehatan difokuskan pada penanggulangan Covid-19, sehingga program-program lain sedikit terabaikan. Bukan hanya HIV, tetapi penyakit lain juga mengalami penurunan selama pandemi,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa saat ini situasi pandemi Covid-19 telah membaik, bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mencabut status pandemi. Hal ini memungkinkan program-program kesehatan pemerintah untuk kembali berjalan sebagaimana mestinya.
“Dengan adanya peningkatan kasus yang ditemukan, termasuk HIV, kemungkinan besar disebabkan oleh adanya faktor risiko yang berperan,” tambahnya.
Beberapa faktor yang menyebabkan fenomena ini terjadi adalah penularan virus HIV dari pasangan IRT. “Pasangan IRT bisa saja melakukan perilaku berisiko tinggi yang menyebabkan penularan,” jelas Arief.
Selain itu, penularan HIV juga dapat terjadi melalui IRT sendiri. Arief, yang juga merupakan Koordinator Program Studi Magister Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana UNAIR, mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kesadaran terhadap bahaya HIV.
“Diperlukan kesadaran, terutama bagi masyarakat yang terlibat dalam perilaku berisiko tinggi. Namun, masih ada stigma di masyarakat yang membuat orang takut untuk memeriksa status HIV mereka,” terangnya.
Beberapa perilaku berisiko tinggi yang dapat menyebabkan penularan HIV antara lain hubungan seks dengan penderita HIV atau penggunaan jarum suntik yang digunakan secara bergantian.
“Kedua perilaku ini merupakan contoh perilaku berisiko tinggi yang dapat menyebabkan penularan HIV. Perilaku-perilaku ini perlu diwaspadai mengingat kemungkinan adanya fenomena ini di masyarakat,” jelasnya.
Selain itu, terdapat juga potensi penularan HIV dari ibu kepada anak. Penularan ini dapat terjadi selama proses kehamilan, persalinan, atau saat menyusui. Namun, penularan ini dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan status HIV ibu secara dini. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan segera setelah ibu diketahui hamil.
“Jika hasil pemeriksaan menunjukkan positif HIV, ibu akan diberikan terapi obat dengan pengawasan dokter. Terapi ini dapat mengurangi tingkat virus HIV dalam darah ibu sehingga risiko penularan ke janin dapat diminimalkan,” ungkap Arief.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah meluncurkan program PMCTC (Prevention of Mother to Child HIV Transmission) untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi. Diperlukan sosialisasi yang lebih luas agar ibu, pasangan yang baru menikah, atau ibu hamil dapat memanfaatkan program ini dengan baik. (*/plr/jnp)