Kantamedia.com – Pemilik kendaraan wajib melakukan perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) setiap lima tahun sekali sekaligus mendapat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) sesuai dengan masa berlaku STNK.
TNKB atau pelat nomor di Indonesia memiliki kode wilayah yang berbeda-beda. Seperti “KH” untuk Kalimantan Tengah, “KB” untuk Kalimantan Barat, “KT” untuk Kalimantan Timur, dan lainnya.
Namun, mengapa kode wilayah tidak diisi oleh inisial kota tersebut melainkan tampak acak? Berikut simak penjelasannya.
Apabila menengok sejarahnya, pelat nomor kendaraan bermotor mulai dikenalkan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Sejak itu, pelat nomor kendaraan di Indonesia terus mengalami perkembangan, baik dari segi bentuk ataupun aturannya.
Melansir dari Historia via Otoasia, Selasa (14/5/2024), sejarah pelat nomor kendaraan di dunia diawali dari negara Perancis pada abad ke-18 yang memasangkan pelat logam pada kereta kuda dengan mencantumkan nama dan alamat pemilik kendaraan.
Kemudian pada abad ke-19, seluruh yurisdiksi di Eropa mengeluarkan lencana untuk dipasangkan ke kereta kuda. Lencana ini berlanjut hingga digunakan beberapa mobil di Perancis pada tahun 1893. Sepuluh tahun kemudian, Amerika dan Kanada ikut menggunakan skema pelat nomor.
Sistem TNKB alias pelat nomor di Indonesia baru digunakan di kendaraan bermotor sekitar tahun 1890-1910 pada mobil-mobil milik orang Belanda atau ningrat Jawa. Hal ini ditujukan untuk memudahkan pendataan pemerintah kolonial berdasarkan wilayah keresidenan.
Metode awal TNKB pada era 1900-an di Indonesia merupakan nomor seri yang dicat langsung pada bagian depan mobil dengan tinta putih dan hitam. Pada saat itu masih menggunakan singkatan daerah, seperti CH (Cheribon) dan SB (Soerabaja).
Standar resmi mengenai pelat nomor kendaraan bermotor perlahan diberlakukan pada 1917, seiring dengan dikeluarkannya peraturan mengenai registrasi pelat nomor dan Surat Izin Mengemudi (SIM). Peraturan tersebut mewajibkan pemilik kendaraan untuk melakukan registrasi kendaraan bermotor secara nasional.
Pada 1917 muncul TNKB baru yang diterapkan pertama kali di Jawa dengan kode wilayah berwarna putih dengan nomor seri di pelat berwarna hitam. Baru pada 1920, pelat nomor seperti ini diperluas ke seluruh penjuru Hindia Belanda.
Kode-kode wilayah yang digunakan merupakan urutan yang sudah ditentukan pemerintahan Hindia Belanda. Hanya dua kota yang ditentukan berdasarkan inisial, yaitu Batavia (B) dan Madura (M).
Pada tahun 1921, aturan terkait penomoran kendaraan di wilayah Hindia Belanda baru dikeluarkan. Kode penomoran tersebut seperti A (Banten), B (Batavia atau Jakarta), D (Priangan atau Bandung), F (Buitenzorg atau Bogor), E (Cirebon), H (Semarang), L (Surabaya), N (Malang), AB (Yogyakarta), AD (Solo), DK (Bali, BL (Aceh), BE (Lampung), DB (Manado), dan kode wilayah lain yang masih digunakan hingga saat ini.
Terdapat pula kode wilayah yang berasal dari singkatan daerah, yakni PA (Papua), PB (Papua Barat), KH (Kalimantan Tengah), KU (Kalimantan Utara), KT (Kalimantan Timur), dan KB (Kalimantan Barat).
Setelah Indonesia merdeka, format awal pelat kendaraan bermotor yang dikenalkan Belanda masih digunakan. Pada masa Orde Baru, tepatnya sekitar tahun 1980-an, pelat nomor tidak hanya berisi kode wilayah dan nomor registrasi, tetapi juga dilengkapi masa berlaku.
Masa berlaku pelat nomor terdiri dari empat digit angka yang menandakan bulan dan kelipatan lima tahun pembelian kendaraan, yang dipisahkan oleh tanda titik (misalnya 08.88) dan ditulis lebih kecil dari nomor registrasi.
Mulai saat itu, pemilik kendaraan juga wajib membayar pajak untuk memperbarui pelat nomor setiap lima tahun. (*)