KATA jihad secara gramatikal berasal dari akar kata jahada-yajhadu-jahdan/juhdan, yang diartikan sebagai kesungguhan atau kekuatan atau kelapangan. Sementara kalau diartikan secara bahasa, jihad diartikan sebagai penyeruan (al-da’wah), menyuruh pada yang makruf dan mencegah yang mungkar (Amar ma’ruf nahi munkar), penyerangan (ghazwah), pembunuhan (qital), peperangan (harb) dll.
Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, jihad bermakna mencurahkan seluruh kemampuan atau menanggung pengorbanan yakni berjuang tiada henti dengan mencurahkan segala yang dimilikinya hingga tercapai apa yang diperjuangkan. Perjuangan dengan nyawa, harta, atau apapun yang dimiliki dengan niat melakukannya di jalan Allah, yang mengantar kepada ridha-Nya. Mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha pengampun lagi maha penyayang (2007: 465).
Saat mendengar kata jihad di luar pengertian secara harfiah di atas, telinga kita seringkali memerah panas, karena istilah tersebut telah (telanjur) menggema dan direspons negatif di kehidupan kita. Seolah kata jihad sudah langsung terkait dengan makna perang suci membela agama (the holly war), paham radikalisme, peristiwa bom bunuh diri atau kematian suci, kejahatan terorisme, dan sebagainya.
Padahal semestinya, kata jihad kalau dibaca derivasi kata dan penafsirannya tidak sesempit demikian.
Bagi sebagian orang, jihad dipandang mengandung sinisme dan sentimen keberagamaan seseorang. Bagi yang tidak memahami, maka jihad bisa disalahartikan sebagai usaha memerangi masyarakat yang berbeda agama dengan menempuh segala cara, demi membela kepentingan agamanya, padahal tidak demikian sejatinya makna jihad.
Secara historis jihad merupakan bagian integral yang tak terpisahkan sejak masa awal Islam (masa kenabian) hingga era kontemporer saat ini yang tentu saja istilah tersebut terus mengalami perluasan makna sesuai dengan konteks dan dialektika masing-masing.
Jihad tidak harus dimaknai kembali dengan memerangi orang kafir, angkat senjata, terorisme, kematian suci dan sebagainya. Pemaknaan sempit itu memang terefleksikan dalam pikiran sebagian orang (fundamentalis) hingga saat ini yang harus diubah pemaknaan dan penafsirannya. Jihad harus dimaknai dengan cakupan materi yang lebih luas dengan penfasiran berjuang di jalan Tuhan Yang Maha Esa dengan terus membela nilai-nilai prinsip dan universal manusia termasuk dalam konteks keilmuan, sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya.
Jihad Demokrasi
Jihad yang dimaksud dalam istilah ini merupakan sebuah entitas untuk menyebut proses “berperang” di medan perjuangan demokrasi di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimana masyarakat mengerti makna demokrasi yang sesungguhnya, membawa konsep bernegara (berpolitik) dengan kepemimpinan yang jujur, amanah, adil, transparan, merakyat, tidak berperilaku koruptif, memberikan pengayoman, kesejahteraan dan kemaslahatan umat dan sejumlah nilai universal lainnya.
Dalam konteks Pemilu 2024 mendatang, istilah jihad demokrasi mempunyai makna bagaimana pemilu kita bisa diperjuangkan oleh penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP), peserta pemilu, dan pemilih sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana pesan konstitusional Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dengan proses dan tata cara yang regulatif, akuntabel, dan berkeadilan.
Pelaksanaan Pemilu 2024 menjadi ruang kontestasi yang membahagiakan seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali sehingga harapannya mereka mampu memilih dan terpilih calon pemimpin yang shidiq (berintegritas), amanah, tabligh (informatif), dan fathonah (cerdas) dan sejalan dengan prinsip pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil).
Proses tahapan demi tahapan pemilu sampai dengan hasil pemilu bisa berkualitas dan akuntabilitas di mata semua masyarakat, partisipasi masyarakat semakin nyata, potensi pelanggaran berkurang, tingkat kepercayaan terhadap penyelenggara tidak diragukan dan pada akhirnya mereka yang terpilih sebagai pimpinan sesuai dengan harapan masyarakat.
Tiga Tantangan
Upaya memperbaiki pemilu kita agar berkualitas dan berintegritas diperlukan kebersamaan jihad atau berjuang bersama antara penyelenggara, peserta, dan pemilih bersatu memberikan kontribusi untuk bangsa dan negara ini dengan peran serta masing-masing. Kebersamaan bisa berhasil apabila ketiganya menjalankan prasyarat utama yakni berintegritas, komitmen, dan bertanggung jawab. Dengan demikian ke depan bakal tercipta sebuah proses pemilu yang demokratis, bermartabat dan berbudaya.
Namun begitu, harapan pemilu kita untuk bisa berjalan dengan baik terkadang di dalam realita dunia perpolitikan kita berbeda. Penyelenggara pemilu pikirannya jelas mengharapkan demokrasi berjalan dengan jujur bebas, rahasia, jujur, dan adil. pada kenyataannya masih banyak oknum politisi untuk tidak menyebut elit politisi yang mencederai jalannya tahapan Pemilu 2024 mendatang, seperti memainkan isu tentang politik identitas, politisasi sara, dan politik uang.
Tiga pekerjaan rumah (PR) tersebut di atas agaknya akan kembali menggejala di Pemilu 2024. Kalau sudah demikian, maka jihad demokrasi atau lebih sempitnya tentang pemilu ini harus didorong kembali hingga mengakar di grassroot masyarakat. Sebagai penyelenggara, berjihad dalam regulasi dan pelaksanaan teknis (KPU) dan pengawasan pemilu (Bawaslu). Peserta pemilu, berjihad mengondisikan calon dan konstituennya untuk taat prosedur, dan pemilih juga berjihad untuk berpartisipasi dalam pemilu yakni sebagai pemilih yang cerdas.
Politik identitas, politisasi sara, dan politik uang harus diperangi (jihad) oleh semua orang, jangan sampai tiga faktor ini tumbuh dan berkembang liar di masyarakat sehingga berdampak menjadi konflik berkesinambungan, disharmoni sampai merembet kepada disintegrasi bangsa.
Saatnya kita semua berjihad mencegah setiap potensi pelanggaran yang ada supaya di masyarakat kita tidak lahir kelompok atau komunitas yang berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan, mengganggu stabilitas kehidupan bangsa dan supaya bangsa ini mampu terhindar dari segala serangan jenis isu suku, agama, ras dan antar-golongan. Semoga.
(*Penulis M. Abdul Karim Mustofa, Ketua Bawaslu Kabupaten Sleman 2018-2023)
Disclaimer: Tulisan opini ini dikutip dan telah tayang di laman harianjogja.com
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.