Masalah Baru Dunia Pendidikan

Oleh: Insan Faisal Ibrahim

DARI dulu hingga sekarang, masalah di dunia pendidikan terus bermunculan. Mulai dari lahirnya regulasi pengangkatan guru honorer, bergantinya kurikulum di setiap era pemerintahan, kasus kekerasan yang terjadi pada siswa dan guru, kesengsaraan para guru sampai terlilit hutang, hingga adanya dualisme status pendidik yang dinaungi oleh dua kementerian. Disadari ataupun tidak, masalah dualisme di dunia pendidikan menjadi salah satu masalah besar yang harus segera diselesaikan oleh para pemangku kebijakan. Karena pada praktiknya di lapangan, ada ketimpangan yang terjadi antara status pendidik di bawah naungan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Dan Teknologi dengan status pendidik di bawah naungan Kementerian Agama.

Terlepas dari bentuk keragaman bangsa Indonesia yang memiliki citra kebhinekaan yang tinggi, dualisme status pendidik ini dirasa kurang baik jika terus diterapkan. Meskipun bagi para pemangku kepentingan masalah ini bukan termasuk masalah besar, tapi tidak berlaku bagi para pendidik itu sendiri terutama para pendidik yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Kementerian Agama sendiri merupakan salah satu Kementerian yang membantu tugas Presiden dalam urusan Keagamaan, seperti pelaksanaan kebijakan di bidang Bimbingan masyarakat umat beragama, Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Pelaksana dalam penetapan produk halal, hingga Penyelenggara pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.

Saat ini, tercatat ada 800 ribu lebih pendidik dari 86 ribu madrasah/sekolah yang berada dibawah naungan Kementerian Agama. Jumlah tersebut terbilang banyak, namun masalah kesejahteraannya masih terbilang sedikit terutama bagi para pendidik yang statusnya honorer dan berada pada jenjang madrasah/sekolah berstatus swasta.

Baca juga:  Sejarah dan Makna Perintah Jihad dalam Islam

Peran pendidik pada Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Dan Teknologi serta Kementerian Agama sebenarnya sama, karena tertuju pada satu perundang-undangan tentang Pendidikan Nasional yang sama, yakni UU No. 20 tahun 2003. Meski demikian, ada ketimpangan yang dirasakan bagi pendidik yang berada dibawah naungan Kementerian Agama. Ketimpangan tersebut terlihat dari beberapa kebijakan yang tidak bisa dirasakan oleh beberapa pendidik, seperti jumlah kuota pengangkatan ASN/PPPK, Kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan pendidik berstatus KEMENDIKBUDRISTEK dari pada KEMENAG, dan masih banyak hal lainnya yang membuat para pendidik di bawah naungan KEMENAG merasa dianaktirikan.

Dualisme lembaga pendidikan ini juga bisa memicu perpecahan antar lembaga pendidikan hingga pendidik itu sendiri. Mulai dari perebutan siswa di satu wilayah yang terdapat dua lembaga pendidikan yang berbeda dengan cara tidak sehat, saling melempar isu-isu yang berbau agama, dan saling menjatuhkan antar lembaga hanya karena status perbedaan kementerian yang menaunginya. Hal-hal seperti inilah yang harus segera ditemukan titik temunya oleh para pemangku kebijakan. Jangan sampai, dualisme ini terus tumbuh dan berkembang hingga merusak citra Pendidikan Bangsa.

Baca juga:  Legislator Muda Ini Bertekad Perbaiki Sektor Pendidikan di Palangka Raya

Selain masalah dualisme lembaga pendidikan, masalah tentang paradigma guru konten kreator juga tidak luput dari perbincangan hangat di kalangan para pendidik bangsa kita. Bagi sebagian orang, para pemangku kebijakan lebih tertarik untuk mendorong kualitas guru konten kreator dari pada harus meningkatkan kesejahteraan guru-guru yang berada di raung lingkup kesengsaraan. Meskipun dunia saat ini memasuki era digitalisasi, bukan berarti guru-guru yang memiliki label konten kreator yang harus diberikan wadah khusus dan diberikan apresiasi tinggi. Banyak guru-guru  yang memiliki potensi dalam membawa perubahan tapi hanya sedikit yang mendapatkan uluran tangan. Banyak pula guru-guru yang menerapkan aksi nyata dalam pembelajaran, tapi hanya sedikit guru yang mendapatkan sebuah pengakuan.

Guru konten kreator itu sendiri lahir dari perkembangan zaman yang mengharuskan dunia pendidikan mengenal teknologi jauh lebih dalam. Sehingga para pelaku guru konten kreator cenderung memiliki umur yang relatif masih muda dan produktif dalam aktivitas bekerja. Salah satu tugas dari guru konten kreator adalah memberikan edukasi seputar dunia pendidikan melalui  media sosial seperti Youtube, Facebook, Tiktok, dan Instagram. Selain mendapatkan perhatian yang lebih dari masyarakat pengguna media sosial, guru konten kreator juga mendapatkan pundi-pundi rezeki dari semua hasil kontennya. Tidak sedikit dari konten kreator yang mampu pergi keluar negeri untuk liburan, membeli kendaraan, hingga mendapatkan tawaran khusus dari para pemangku kebijakan ketika memperingati hari-hari besar yang ada kaitannya dengan Pendidikan.

Baca juga:  UGM Rancang Aturan Larangan Dosen Killer, Wakil Rektor: Kita Ingin Hilangkan Itu

Dari deretan kebaikan yang diterima oleh guru konten kreator, banyak guru-guru baru dan lama meniru hingga membuat sebuah konten di lingkungan sekolah. Hal-hal seperti inilah yang menjadi ketakutan sebagian orang tua siswa, ketika seorang guru lebih mementingkan kualitas konten yang ia buat daripada harus meningkatkan kualitas dan kuantitasnya dalam mendidik siswa. Meskipun di lapangan tidak semua guru konten kreator menghasilkan produk siswa yang gagal. Tapi seharusnya para pemangku kebijakan membatasi aktivitas seorang guru dalam membuat konten-konten yang kurang bermutu.

Mengembalikan nama baik seorang guru tidak semudah membalikan telapak tangan. Kepercayaan para orang tua siswa terhadap guru harus terus ditingkatkan, demi menghindari citra buruk yang tertanam pada lembaga pendidikan. Mengenalkan teknologi memang harus diterapkan, tapi membatasi penggunaan di lingkungan sekolah yang berlebihan pun harus terus disuarakan demi menghindari hal-hal yang merusak norma-norma kehidupan. (*)

 

(Penulis: Insan Faisal Ibrahim, Pendidik di Kp. Pamalayan Desa Pamalayan, Kecamatan Bayongbong,  Kabupaten Garut, Jawa Barat; IG: @innsanfaisal)

Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.

Bagikan berita ini

KANTAMEDIA CHANNEL

YouTube Video
Bsi