Politik Tuna Etika, Pragmatisme Dorong Migrasi Pilihan Politik Politisi

MENDEKATI Pemilu 2024, peragaan politik elit dan politisi semakin jauh dari etika, moralitas dan ideologi kebangsaan sebagaimana diajarkan para founding people Indonesia.

Dari mulai presiden hingga politisi sekelas Budiman Sudjatmiko, sebagai salah satu anak asuh Jokowi, sama-sama menunjukkan gejala yang sama.

Pragmatisme tanpa ideologi mendasari sejumlah manuver Jokowi, melalui para anak asuhnya, yang hanya mempertegas level kenegarawanan dan kepemimpinan Jokowi semata-mata untuk menjadikan dirinya sentrum kontestasi politik, sehingga memetik insentif kekuasaan pasca-kepemimpinannya berakhir.

Meski dirinya bukan ketua partai politik, Jokowi terus memainkan bidak catur politik dan menimbang kekuatan politik mana yang akan melindungi dirinya dan memastikan tetap memberi tempat bagi Jokowi kelak.

Baca juga:  Belajar dari Ali dan Aisyah saat Beda Pilihan Politik

Sebagai petugas partai yang dipercaya rakyat memimpin, level Jokowi seharusnya meningkat menjadi seorang negarawan dan tetap mempedomani etika politik dan kepemimpinan serta etika kepartaian darimana dirinya berasal.

Memang, migrasi politik adalah hal yang wajar dalam berpolitik. Bahkan migrasi ideologis juga muncul di kalangan elit Nasdem, saat partai tersebut mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres.

Tapi, mereka yang mundur lebih didasari oleh argumen ideologis yang tidak sejalan dengan Anies, yang oleh sebagian orang dianggap menapaki karir politik dengan mengeksploitasi identitas agama.

Baca juga:  Korupsi Membumi, Bumi Pertiwi Terzalimi

Namun, migrasi pilihan politik belakangan ini justru tampak lebih didasari oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatis dan imajinasi elektabilitas yang disajikan lembaga survei.

Sentrum Prabowo Subianto yang kesannya dikerubuti oleh beberapa jenderal yang dulu menentangnya, bahkan menjadi pengadil pada sidang yang memberhentikan Prabowo dari jabatan dan dinas militer melengkapi panorama pragmatisme dan praktik politik tanpa ideologi.

Bahkan, mereka yang dulu diculik dan dipenjarakan melalui suatu operasi khusus, justru memuji dan bersimpuh pada Prabowo. Stockholm sydrom tampak menjelaskan fenomena ini.

Baca juga:  Bulan Sejuta Umat

Posisi dan magnet Prabowo Subianto saat ini tentu bukan contoh terbaik bagi anggota TNI yang saat ini masih berdinas atau yang mengakhiri tugas dengan prestasi.

Capaian Prabowo saat ini ditopang oleh masyarakat yang lupa, tidak memetik sejarah sebagai pembelajaran dan ditopang oleh Presiden aktif yang semakin cemas tidak memiliki pengaruh.

(*Penulis Hendardi, adalah Ketua Dewan Nasional SETARA Institute)

 


Disclaimer: Opini ini dikutip dan telah tayang di laman RMOL.id

Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.

Bagikan berita ini

KANTAMEDIA CHANNEL

YouTube Video
Bsi