PADA tahun-tahun pertama kemerdekaan Indonesia dikenal luas penggunaan kata Bung untuk panggilan seseorang terutama dikalangan para pejuang kemerdekaan. Itu adalah sebuah terobosan yang dilakukan para pejurang kemerdekaan dalam menembus kebiasaan dikalangan Masyarakat feodal dalam memanggil seseorang, terutama kepada mereka yang lebih tua.
Maka Presiden Soekarno dan para pejabat tinggi negara lebih dikenal dengan panggilan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dan para pejuang kemerdekaan lainnya. Beberapa waktu selanjutnya dilakukan pula perubahan dalam menyebut pejabat tinggi negara yang ketika itu dikenal menggunakan istilah Paduka Yang Mulia atau Yang Mullia menjadi cukup dengan sebutan Yang Terhormat.
Sekolah SD ketika itu masih Bernama Sekolah Rakyat atau SR yang dalam salah satu kurikulum pelajaran memberikan bekal kepada anak muridnya dengan mata pelajaran budi pekerti. Dalam Pelajaran bahasa Indonesia para guru SR ketika itu jelas mengajarkan bahwa kata Tolol, lebih-lebih Bajingan, masuk dalam kata yang tidak pantas digunakan dalam pergaulan sehari hari di sekolah. Sekolah Rakyat di Jakarta, bahkan para guru melarang para anak muridnya menggunakan kata lo gue dalam pergaulan sehari hari di sekolah.
Itulah salah satu dari perkembangan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada era di awal kemerdekaan dalam berhadapan dengan masyarakat yang feodalistis dan penggunaan bahasa Indonesia sebagai pola pendidikan sopan santun di sekolah.
Dalam perkembangannya kemudian, terutama setelah era reformasi terasa penerapan sistem demokrasi yang menjanjikan kebebasan terutama dalam berekspresi menjadi lebih luas. Sayangnya adalah kebebasan dalam berdemokrasi tidak jelas batas batasnya, yang menyebabkan banyak pihak mempunyai definisi sendiri sendiri tentang arti kebebasan dalam pemerintahan yang demokratis. Untuk hal ini keluhan muncul dalam bentuk jargon sinis yang terkenal terhadap kebebasan yang dinilai melampaui batas sebagai Sekali Merdeka – Merdeka Sekali.
Demikianlah, maka belakangan ini muncul topik panas dalam polemik yang beredar di berbagai media masa tentang cacian kasar yang menggunakan istilah Bajingan Tolol. Sebenarnya bila diamati maka terlihat jelas sejak reformasi sopan santun dan etika berbicara cenderung menjadi kasar dan respek atau rasa hormat terhadap mereka yang lebih tua sudah berangsur angsur menghilang atas nama kebebasan dalam alam demokrasi.
Itu tadi perkembangan yang memunculkan jargon Sekali Merdeka – Merdeka Sekali. Topik yang muncul kepermukaan adalah penggunaan kata-kata Bajingan Tolol yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia. Wajar sekali kemudian terjadi kegaduhan yang luar biasa muncul pada berbagai forum dan media. Dalam hal ini, sebenarnya jelas sekali kata Bajingan Tolol sangat tidak pantas digunakan dalam ruang publik, terlebih ditujukan kepada Presiden, Kepala Negara yang sekaligus Kepala Pemerintahan yang selayaknya harus dihormati olah warga negaranya. Jelas sekali disini terlihat bahwa rasa hormat, etika dan sopan santun tidak ada sama sekali dalam konteks tersebut.
Perkembangan selanjutnya, seperti biasa maka muncul respon reaksi pihak tertentu untuk membela diri dengan berbagai alasan. Mulai dari mengatakan bahwa kata bajingan tolol bukanlah kata yang ditujukan kepada Presiden sebagai pribadi akan tetapi Presiden sebagai jabatan publik. Ada lagi muncul pendapat yang mengarahkan bahwa kata bajingan adalah kata yang baik sebagai profesi tertentu di sebuah daerah dan lain sebagainya.
Bahkan bagi yang sulit untuk mencari alasan memperhalus bahkan terus terang mengatakan bahwa bila menjadi pejabat publik harus siap di caci maki dengan kata kata kasar, tidak sopan dan bahkan kurang ajar. Selanjutnya dikatakan pula bahwa bila tidak suka dimaki ya jangan jadi pejabat publik. Ada pula pernyataan sangat menggelikan yang berpendapat bahwa mengkritk memang harus dengan kata kata kasar dan makian yang penuh kebencian dan tidak perlu sopan santun. Bahkan disebut bahwa dalam mengkritik tidak bisa dilakukan dengan etika dan sopan santun. Banyak lagi alasan alasan yang diutarakan yang pada intinya memaksa bahwa penggunaan kata kata Bajingan Tolol yang ditujukan kepada Presiden adalah sebagai hal yang wajar dan biasa biasa saja.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.