SETIAP warga negara Indonesia (WNI) memiliki hak yang sama dalam memilih atau menentukan Agama yang ingin dianutnya berdasarkan kepercayaannya masing-masing. Sebab pada dasarnya, hak dalam memilih agama merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak bisa dihalangi oleh apapun dan negara menjamin kebebasan tersebut. Dasar hukum yang menjamin kebebasan memeluk agama di Indonesia diatur pada Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak Kembali”. Selanjutnya, kebebasan memeluk kepercayaan tercantum dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yaitu: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Kebebasan dalam beragama tersebut tampaknya masih menjadi perbincangan hangat yang sensitif untuk dibicarakan. Sebab pada kenyataannya, masih banyak orang yang belum bisa menerima adanya perbedaan dari kebebasan dalam beragama. Salah satu contoh sederhananya, di sebagian daerah masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa Kementerian Agama hanya didirikan untuk Agama Islam saja. Anggapan itu muncul karena di beberapa daerah, semua pegawai yang bekerja di Kementerian Agama beragama Islam. Sehingga sangat wajar, jika sebagian orang awam menganggap bahwa Kementerian Agama tersebut hanya mengurus agama Islam saja.
Hal-hal seperti inilah yang menyebabkan, toleransi antarumat beragama di Indonesia masih dipertanyakan. Toleransi sendiri merupakan salah satu hal yang penting di kehidupan kita. Makna dari toleransi sendiri yaitu seperti sikap saling menghormati antarsesama. Namun sayangnya, sikap toleransi terhadap perbedaan antarumat beragama masih sangat rendah bahkan bisa dikatakan hilang di sebagian daerah. Banyak yang menolak pembangunan tempat ibadah agama lain, perselisihan antara makanan halal dan haram, serta perdebatan antara menghargai dan menghormati cara peribadatan. Masalah tersebut harus benar-benar diselesaikan, agar terciptanya kerukunan antar umat beragama.
Di Indonesia sendiri, masalah perbedaan pendapat tentang beragama masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan. Terlepas dari perbedaan kepercayaan dalam beragama, saat ini masih banyak orang yang saling menyalahkan hanya karena perbedaan pendapat tentang peribadatan. Padahal perbedaan tersebut lahir dari satu kepercayaan atau agama yang sama, yakni agama Islam. Mulai dari perbedaan cara menentukan awal ramadan, jumlah rakaat salat tarawih, penggunaan do’a qunut dalam salat subuh, pelaksanaan tahlilan, dan banyak hal lainnya yang menjadi perdebatan. Apalagi ketika berbicara soal menjaga kearifan lokal budaya suatu daerah yang terkadang bertolak belakang dengan hukum dan ajaran agama Islam.
Dari dulu hingga sekarang, perdebatan mengenai orang-orang Muslim yang masih melaksanakan tradisi nenek moyang terdahulu sering menjadi perpecahan. Padahal bagi mereka yang masih tetap menjaga tradisi merupakan bentuk perhatian lebih terhadap budaya bangsa. Meskipun tidak semua orang mampu berpikir jernih terhadap perilaku orang-orang tersebut. Salah satu contohnya, hampir di sebagian daerah-daerah yang memiliki rekam jejak peninggalan peradaban Islam sering melakukan sebuah upacara tertentu sebagai bentuk penghormatan. Bukan untuk menduakan Tuhan Yang Maha Esa, akan tetapi demi menjaga perjuangan para sesepuh atau para Wali terdahulu dalam menyebarkan agama Islam.
Adapun bentuk upacara yang sering dipermasalahkan banyak orang adalah memandikan senjata yang digunakan para penyebar agama Islam dahulu sebagai bentuk penyucian (pembersihan), membersihkan tempat petilasan sebagai bentuk penghormatan, dan melakukan ritual-ritual khusus lainnya yang diajarkan secara turun temurun. Secara kasat mata, memang upacara tersebut terlihat menyalahi kaidah ajaran agama Islam. Namun jika kita menurunkan sedikit ego perihal tersebut, sebenarnya hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang tersebut tidak melenceng dari ajaran agama Islam. Mereka hanya menjaga tradisi dan menjaga nama budaya bangsa agar anak cucu atau generasi muda selanjutnya mengetahui akan sejarah yang sangat luar biasa tentang perjuangan para penyebar agama Islam terdahulu.
Sebenarnya, budaya dan agama tidak bisa dipisahkan dalam ajaran agama Islam. Di Indonesia sendiri, para wali yang sering dikenal sebagai Wali Songo sering menggunakan kesenian dalam menyebarkan agama Islam. Seperti penggunaan bonang, wayang, bahkan tembang yang berisikan ajaran-ajaran agama Islam. Bentuk tradisi seperti itulah yang dijadikan sebagian orang sebagai penghormatan terhadap para penyebar agama Islam terdahulu.
Namun pada kenyataannya, masih banyak orang yang mencampur adukkan budaya bangsa dengan nilai-nilai agama yang dianggapnya Bid’ah atau segala sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW pada zaman beliau masih hidup, tetapi kemudian dilakukan atau dilaksanakan oleh umatnya setelah beliau wafat.
Hal-hal seperti inilah yang membuat perpecahan antar sesama agama dan bukan antar umat beragama.
Hadirnya konsep moderasi beragama membuka paradigma baru di kalangan masyarakat luas terutama bagi para pendidik. Moderasi beragama hadir dengan tujuan untuk menanamkan nilai-nilai dalam beragama secara moderat atau tidak menutup pandangan dari banyaknya pendapat dan menerapkan prinsip toleransi terhadap kebebasan dalam memilih kepercayaan yang dianut.
Penerapan toleransi dalam kehidupan tidak boleh hanya sebatas perbedaan agama atau perbedaan paham dalam satu ajaran agama saja. Akan tetapi, toleransi juga harus ada di setiap hati umat beragama terhadap budaya bangsa. Sehingga, budaya bangsa harus tetap dijaga dengan segala cara dan upaya demi membuka mata para generasi muda dari tunanetranya dunia terhadap budaya. Sebab dunia tanpa agama bagai langit tanpa hadirnya senja dan hidup tanpa menjaga budaya bagai mentari tanpa pancaran cahaya.
Butuh peran serta dari orang-orang yang mempunyai pemahaman tentang makna toleransi yang sesungguhnya, agar semua golongan masyarakat mampu menjadikan toleransi beragama sebagai Sandang keimanan, toleransi berpolitik sebagai Pangan kemanusiaan, dan toleransi dalam budaya sebagai Papan kebhinekaan. (*)
(INSAN FAISAL IBRAHIM. Kp. Pamalayan Desa Pamalayan, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. IG : @innsanfaisal)
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.