Palangka Raya, Kantamedia.com – Puluhan massa mengatasnamakan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kalimantan Provinsi Kalimantan Tengah menggelar aksi di depan Pengadilan Tinggi Palangka Raya, Kamis (13/2/2025). Aksi ini digelar sebagai bentuk protes terhadap dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri (PN) Sampit, Benny Oktavianus, S.H., M.H., dalam penanganan perkara sengketa agraria di Kotawaringin Timur.
Sekitar 50 orang peserta aksi datang dari Kotawaringin Timur dengan membawa spanduk berisi tuntutan pencopotan Ketua PN Sampit. Massa meminta agar tindakan tegas segera diambil terhadap oknum hakim yang dinilai telah bertindak tidak adil dalam sidang perkara perdata Nomor 42/PDT.G/2024/PN.SPT terkait lahan 96 hektare yang diklaim oleh PT Agro Indomas.
Koordinator aksi, Eko Morja, dalam orasinya menyatakan bahwa Ketua PN Sampit telah melakukan sejumlah pelanggaran kode etik, di antaranya bersikap kasar dan arogan kepada tergugat, menunda sidang tanpa alasan jelas, serta tidak memperbolehkan salah satu tergugat, Nasrun, untuk keluar dari ruang sidang meskipun ingin ke toilet. Selain itu, saksi dari pihak perusahaan diduga mendapatkan fasilitas alat komunikasi selama persidangan.
“Ini adalah bentuk ketidakadilan. Kami menuntut pencopotan Ketua PN Sampit dan meminta agar proses hukum terhadapnya berjalan secara transparan,” ujar Eko Morja.
Massa juga mengkritik PT Palangka Raya yang dinilai tidak mampu mengawasi kinerja PN Sampit secara efektif. Jika tuntutan tidak segera ditindaklanjuti, mereka berencana melaporkan kasus ini ke Komisi Yudisial di Kalimantan Selatan.
Menanggapi aksi tersebut, Humas PT Palangka Raya, Sigit Sutrisno, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima surat dari massa aksi dan telah meneruskannya ke PN Sampit. Namun, hingga saat ini belum ada respons dari PN Sampit terkait tindak lanjut laporan tersebut.
Aksi yang berlangsung hingga pukul 11.00 WIB ini mendapat pengawalan dari aparat kepolisian dan berlangsung dalam kondisi aman dan kondusif. Meskipun aksi telah selesai, massa masih bertahan di sekitar lokasi untuk menunggu respons dari pihak Pengadilan Tinggi Palangka Raya.
Kasus ini berawal dari sengketa lahan antara masyarakat dan PT Agro Indomas yang telah berlangsung sejak 2007. Dalam perjalanan kasus ini, warga yang memiliki lahan 14 hektare mengaku hanya menerima ganti rugi untuk 7 hektare, sementara sisanya diklaim oleh perusahaan. Konflik ini terus berlanjut hingga sekarang dengan lima orang masyarakat menjadi pihak tergugat dalam kasus ini.
Masyarakat berharap aksi ini dapat membuka mata pemerintah dan lembaga peradilan untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat adat yang selama ini merasa dirugikan oleh keputusan yang dianggap tidak berpihak kepada mereka. (daw)