2. Partai Masyumi
Partai Masyumi dinyatakan bubar pada 13 September 1960. Untuk pembubaran Masyumi yang dituding terlibat gerakan PRRI/Permesta, Presiden Soekarno atau Bung Karno mengeluarkan keputusan Presiden nomor 200 tahun 1960.
Sebelumnya pada 5 September 1958 Presiden Soekarno telah mengeluarkan peringatan tentang larangan terhadap sejumlah partai politik dan organisasi, termasuk Masyumi di sejumlah daerah. Larangan itu terkait dengan adanya gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera yang dianggap makar terhadap pemerintahan Soekarno.
Sejumlah tokoh Masyumi ditangkap sekaligus menjadi tahanan politik karena dituding terlibat dalam pemberontakan PRRI yang didukung Amerika Serikat. Para tokoh itu di antaranya Buya Hamka, Moh Roem dan Prawoto Mangkusasmito Masyumi melalui Moh Roem dan Prawoto sempat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta, namun pihak pengadilan tidak berani menangani.
Para tokoh Masyumi baru menghirup udara bebas setelah kekuasaan Soekarno tumbang dan digantikan rezim Orde Baru.
3. Partai Sosialis Indonesia (PSI)
Bernasib sama dengan Masyumi, Presiden Soekarno atau Bung Karno juga membubarkan PSI karena dianggap terlibat gerakan pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera. Pembubaran PSI berlangsung 17 Agustus 1960, Bung Karno menerbitkan Keppres nomor 201 tahun 1960.
Bung Karno sempat memanggil Sutan Sjahrir selaku Ketua PSI guna menjelaskan posisi PSI dalam peristiwa PRRI/Permesta. Namun keterangan mantan perdana menteri pertama RI itu tidak mengubah pendirian Soekarno untuk membubarkan PSI. Sebab secara politik, koalisi PSI dan Masyumi diketahui selalu mengambil posisi oposisi terhadap Pemerintahan Soekarno.
Tidak berlangsung lama dari pembubaran PSI, pada 16 Januari 1962, Sjahrir ditangkap dan dijadikan tahanan politik. Sutan Sjahrir yang sempat diizinkan berobat ke luar negeri karena sakit, wafat dengan status masih sebagai tahanan politik rezim Soekarno. Itulah partai politik di Indonesia yang dibubarkan karena terlibat makar. (*/jnp)