Kantamedia.com – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak uji materil terhadap gugatan batas usia minimal capres-cawapres yang diajukan sejumlah pihak. Putusan itu dibacakan dalam sidang MK, Senin (16/10/2023). Setidaknya ada 11 perkara uji materil terhadap batasan usia capres dan cawapres.
Putusan pertama yang dibacakan adalah perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).
MK menolak perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak sebagai pemohon.
Dari sembilan hakim yang memutus perkara tentang batas usia minimal capres-cawapres ini, ada perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari dua hakim konstitusi, yaitu Suhartoyo dan M Guntur Hamzah.
Dalam pendapatnya, Suhartoyo mengatakan, para pemohon pada perkara ini menyampaikan terdapat hal inkonstitusionalitas norma pasal 169 huruf q UU 7/2017 untuk kepentingan pihak lain adalah permohonan yang didasarkan pada tidak adanya hubungan hukum antara pemohon dalam perkara a quo dengan subjek hukum yang dikehendaki dalam petitum permohonannya.
“Dengan kata lain tidak adanya hubungan kausalitas antara hak konstitusional yang dimiliki oleh para pemohon dengan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian sebagaimana yang dipersyaratkan,” jelas Suhartoyo.
“Dengan demikian terhadap para pemohon tidak terdapat adanya anggapan kerugian baik aktual maupun potensial dan oleh karena itu terhadap para pemohon tidak relevan dan oleh karenanya seharusnya Mahkamah menegaskan permohonan a quo tidak memenuhi syarat formil dan menyatakan permohonan tidak dapat diterima,” imbuh Suhartoyo.
Sedangkan hakim konstitusi Guntur Hamzah dalam dissenting opinion-nya mengatakan, seharusnya permohonan pemohon dapat dikabulkan sebagian. Sehingga, pasal a quo dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai tidak berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah.
“Keputusan presiden dan DPR untuk menyerahkan penentuan batas usia calon presiden atau calon wakil presiden kepada Mahkamah merupakan praktik ketatanegaraan yang wajar dengan memandang persoalan batas usia ini sebagai problem konstitusional dengan demikian penyelesaian diletakkan dalam kerangka hukum konstitusi sesuai dengan tugas hakim dan kewenangan Mahkamah,” jelas Guntur.
Selain itu, lanjut Guntur, dirinya berpendapat menurunkan batas usia calon presiden dan calon presiden di bawah 40 tahun dapat memberikan peluang yang sama terhadap ke seluruh warga negara agar bersikap adaptif sesuai perkembangan dinamika kehidupan.
“Menurut hemat saya perlu dipertimbangkan perkembangan dinamika keutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ketatanegaraan, salah satunya terkait batasan usia bagi calon presiden dan calon wakil presiden dengan mengacu pada prinsip memberi kesempatan dan menghilangkan pembatasan secara rasional adil dan akuntabel,” kata Guntur.
Ia menimbang faktor historis, normatif, dan empiris atau faktual, usia pimpinan nasional presiden dan wakil presiden atau sederajat pernah dijabat oleh pejabat dengan usia di bawah 40 tahun atau 35 tahun ke atas.
Dari segi normatif, konstitusi RIS, lanjut Guntur, telah mengatur syarat usia 35 tahun, UUDS 1950 mengatur syarat usia 30 tahun, dan 35 tahun.
Guntur juga menilai secara empiris atau faktual, Sutan Sjahrir menjabat sebagai Perdana Menteri pada usia 36 tahun. Di luar negeri, beberapa negara di benua Eropa, Asia, Amerika, dan Afrika juga secara tegas mengatur syarat calon presiden dalam konstitusi mereka masing-masing yakni sekurang-kurangnya berusia 35 tahun.
Ia juga berkeyakinan bahwa perkara ini tidak termasuk open legal policy, sehingga dapat dikesampingkan atau tidak digunakan sebagai alasan pembenaran, karena telah nyata merupakan bentuk ketidakadilan dan melanggar prinsip rasionalitas dan keadilan sebagai alasan yang dapat mengesampingkan open legal policy.
Ketidakadilan itu, menurut Guntur, karena pembatasan demikian tidak hanya merugikan dan bahkan menghilangkan kesempatan bagi figur atau sosok generasi muda yang terbukti pernah terpilih, seperti, dalam pemilihan umum atau kepala daerah. Sehingga figur tokoh muda tersebut sudah dapat dipandang berpengalaman. (*/jnp)