Kantamedia.com – “Ri, kumohon!” mataku melotot melihat suamiku yang kini duduk merokok di depan pintu. Sahri memandangku marah, “Berisik!” balasnya.
Aku terus menenangkan bayiku yang menangis dan terbatuk-batuk tak henti. Aku hanya bisa menatapi Sahri sambil terus mengutukinya dalam hati. Kadang aku bertanya-tanya pada diriku sendiri mengapa aku sudi menikahi laki-laki miskin, pekerja serabutan yang tak jelas ini. Laki-laki yang hanya bisa menyediakan ruangan sepetak dari tumpukan seng tak layak, dan dengan angkuh menyebutnya ‘rumah’.
Laki-laki yang membuatku 3 kali mengandung dan tiga kali pula aku kehilangan karena keguguran. Selalu dan selalu bidan bilang “Rahim Ibu lemah, harus banyak istirahat saat mengandung”. Istirahat? Aku ini istrinya Sahri bin Jamaludin, yang harus juga membanting tulangku untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akupun harus berjuang serabutan mencuci gosok kesana kesini agar hutang-hutang terbayar, agar ada sedikit nasi mengisi lambungku yang sudah tidak bisa membedakan mana nasi basi mana nasi baru.
Kini, setelah akhirnya aku berhasil melahirkan seorang bayi nan cantik dan masih berusia 3 bulan, makin-makin dibuat muak aku dengan tingkah si Sahri.
“Bayi ini terus batuk seminggu ini. Badannya panas dan rewel terus” ucapku.
“Ya! Dia rewel dan terus berisik seperti kau!” balas Sahri acuh.
“Aku mau bawa bayi ini ke puskesmas!”pintaku. Mendengarnya, kini Sahri menatapku.
“Untuk apa? Bayar pakai apa?. Nanti batuknya juga hilang sendiri!” Sahri menyedot dalam-dalam rokoknya.
Aku menahan emosiku. Aku berusaha tak tersulut agar mungkin saja masih ada sisa hati nurani pada laki-laki tidak tahu diri ini.
“Kali ini beda, dia seperti sakit keras…kumohon…” Aku mencoba memelas. Sahri tidak bergeming.
Ya! Itulah aku yang selalu lemah di hadapan Sahri. Hanya bisa terus menerus memohon, dan membiarkannya berlaku seenak hatinya padaku karena dia tahu betul hanya dirinyalah yang kupunya di dunia ini.
Aku, Saidah. Seorang wanita miskin yang tak beribu dan tak berbapak. Tak bertanah leluhur dan tak memiliki apa yang banyak orang panggil ‘rumah’. Aku tak memiliki tempat menuju ataupun tempat kembali.
Aku ikut ke kota bersama teman yang ku kenal di kampung nenekku, Namanya Mardiah. Diah, mengajakku bekerja menjadi pembantu rumah tangga di kota.
Di usiaku yang masih 14 tahun, sendirian, aku berangkat ke kota untuk menjemput masa depanku. Satu tahun lamanya ikut tuan dan nyonya yang cukup baik, sampai akhirnya aku bertemu dengan Sahri, seorang kuli yang membantu merenovasi rumah majikanku. Bodohnya, aku terlalu mudah jatuh keperangkap bualan buaya kere ini. Aku benar-benar membumbung dibutakan akan cinta. Bersama Sahri untuk pertama kalinya aku merasakan debaran itu dan itulah awal aku kehilangan semua logikaku.
Di tengah mabuknya diriku akan cinta, semua bisikan-bisikan Sahri terasa benar. Tak terbayangkan, bahkan aku setuju dengan idenya untuk mencuri uang dari lemari majikanku yang selama ini mengenalku sebagai pembantu yang jujur. Uang itu kami gunakan untuk berjalan-jalan dan makan-makan di hari liburku.
Memiliki uang dan cinta begitu mendebarkan hingga dadaku terasa gegap gempita. Tapi akhirnya semua rusak dengan cepat. Aku ketahuan! Dan saat itu juga aku diminta untuk angkat kaki dari rumah tuan dan nyonya.
Diah dipanggil untuk bertanggung jawab karena membawaku kepada mereka. Pagi itu, aku melihat Diah begitu kecewa. Bahkan dia tidak mau menatapku. Diah memberi majikanku sejumlah uang untuk ganti rugi, setelah itu meninggalkanku di tepi jalan. Diah hanya bilang, “Kini aku tak mau tahu tentangmu. Urusan kita selesei sampai di sini” lalu pergi.
Aku berdiri mematung dipinggir jembatan dengan tas kresek besar berisi pakaian dan barang-barangku. Semua terjadi begitu cepat hingga otak dunguku ini masih saja belum mengerti. Butuh waktu lama hingga akhirnya aku menyadari hari telah gelap, dan aku masih berdiri di pinggir jalan di sebuah jembatan. Mematung dan bodoh.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.