Gerutu Tin di depan Keranda Tan

Oleh: Mira D. Lazuba

KANTAMEDIA.COM – Tan, entah bagaimana aku menjabarkan tentang dunia. Setelah kepergianmu, dunia seperti berlalu. Aku tak bisa lagi mengerti, mengapa aku harus membuka mataku di pagi hari. Aku tak bisa lagi pahami mengapa detak sebuah detik menjadi begitu menyakiti. Waktu telah menjadi kejam. Aku berhenti di masa di mana kau tega lenggang sendiri.

Tan, aku menyalahkanmu untuk semua sedih yang kini menjerati setiap sisi sanubari. Mengapa kau begitu lena pada semua pelayananku. Mengapa kau begitu acuh pada apapun tentang kesehatanmu. Bagimu selama ada aku, kau akan baik-baik saja. Tapi tak pernahkah terbesit dalam otakmu, apa jadinya aku tanpamu?.

Tan, bila kau dengarkan ocehanku tiap pagi, bangunlah dari tidur manjamu, mungkin kita masih disini. Gerakkan beberapa sendi-sendimu, bisa jadi sedikit panjang umurmu. Kau alpa pada semua nasehatku, karena kedudukanmu lebih tinggi dan aku hanyalah abdi. Kau pergi tanpa permisi, jantungmu tak mau berdetak lagi. Sementara, jantungku tak mampu, jika tak berdegub atas namamu.

Tan, rambutku sudah putih, rambutmu pun begitu. Wangiku sudah tanah, wangimu apalagi. Kulitku sudah renta, mataku hampir buta, tapi rasanya baru kemarin ku lihat kita tertawa-tawa. Masih ku ingat deru nafasku saat pertama kali bertemu denganmu. Kau ceking tinggi dan keling. Aku tertimpa asmara hingga pusing tujuh keliling. Aku tak dapat menyembunyikan senyum sumringahku. Malu-malu untuk pertama kalinya kita bergenggaman tangan. Hangatnya masih melekat pada kulit kisutku. Aku selalu menyukai tanganmu yang lebar, membuatku selalu merasa aman. Ingatan itu begitu segar, hingga aku disadarkan. Kita nyatanya telah begitu lama saling bersandar.

Tan, apakah kau tau ada masa dimana aku ingin pergi meninggalkanmu?. Membersamaimu, terkadang begitu sulit. Menahan egomu dan egoku sendiri, sering kali terlalu rumit. Tak terhitung berapa kali aku ingin menyerah, tak terhingga berapa tetesan air mata telah merajalela. Tapi mengapa kini aku menyesal? Walau tak pernah kau ku tinggalkan.

Baca juga:  Antara Dendam dan Cinta

Tan, jika aku kelelahan, peluklah aku. Jika aku mengaum, genggamlah tanganku. Sejatinya aku hanya ingin perhatianmu. Semua kebaikanmu menenangkan badaiku. Lelah ku katakan apa yang ku inginkan. Pun tak jemu kau lirihkan bahwa kau selalu lupa. Dan aku akan terus marah, kembali murka, hingga kita sama-sama jengah. Kau tetap menjadi bebal untuk bertahan seperti batu, dan aku seperti palu yang kelelahan menempa bulu.

Tan, bila diberi kesempatan kedua, untuk kembali ke masa lalu, apakah kau masih akan tetap memilihku?. Wanita yang hanya memberimu sial, yang mulutnya begitu bual sehingga membuat orang-orang mual. Memilihku artinya meninggalkan semua pertemanan. Dan mengapa itu kau lakukan?. Wanita gila ini telah membuatmu banyak celaka. Tak banyak disuka manusia. Banyak kurangnya, tak pula bagus parasnya. Tukang berkokok macam betul saja omongannya. Hingga kau pun dibenci, dijauhi. Aku terlalu mudah melontar apa yang ku pikir benar. Nyatanya dunia ini tak selamanya semau dan setuju denganku. Kebenaran selalu tentang sudut pandang. Sementara aku selalu berbeda, tak bisa orang senada, dan disitulah aku selalu dipertentangkan.

Tan, kita masih punya janji untuk membuka sebuah kedai kopi. Aku akan memasak masakan terbaikku dan kau akan menjamu muda-mudi yang akan memenuhi kedai kita. Kita akan melayani mereka, menyerap energi mudanya, hingga kita terlena pada usia. Tapi kau selalu sakit, dan aku begitu lelah menjagamu. Kini aku berjanji tidak akan menggerutu. Nyatanya, aku lebih senang mengurusimu. Jadi ku minta sekarang bangunlah. Aku lebih ingin mendengar dengkurmu daripada melihatmu membujur kaku.

Baca juga:  Menggantung Mayatmu

Tan, apa benar Tuhan lebih menyayangimu dibanding aku? Aku selalu berdoa agar aku mati lebih dulu. Agar dunia yang ku tinggalkan ini mengajarimu betapa berharganya aku. Bahwa kau tak akan mampu hidup tanpa ku. Tapi ternyata lagi-lagi aku dianak tiri. Apakah ini dosa dari niat jahatku. Sehingga di usiaku yang sudah sebanyak ini aku harus merasakan derita kehilanganmu. Kau pikir aku tak akan sedih? Kau kira aku tak apa-apa?.

Tan, sekarang aku menjadi heran. Mengapa malaikat tidak sekalian mencabut nyawaku saat mencabut nyawamu. Letak kita tak seberapa jauh, hanya berjarak satu guling saja. Mengapa aku harus terbangun dan melihatmu sudah biru? Malaikat itu suka sekali mondar-mandir. Apa jarak surga dan rumah kita tidak terlalu jauh?. Sehingga tak dituntaskannya pencabutan dua nyawa yang sudah kadaluwarsa ini. Mengapa Malaikat hanya memilihmu dan tak membawaku serta? Apa hebatmu yang tak ku miliki? Apa karena terlalu dekat, hingga aku bisa menggapai surga dengan berjalan kaki?. Melihat lagi muka tuamu yang meringis, dan mengatakan padaku “Hallo kita jumpa lagi!”.

Tan, aku benci mengatakan ini, tapi aku sudah rindu. Padahal puluhan tahun kita bersama, seharusnya kepergianmu membuatku lega. Tak perlu lagi aku pusingkan kau mau makan apa. Tak perlu lagi ku mandikan kau dengan susah payah. Aku hanya akan berbaring memandang bintang. Bersantai sampai terlalu bosan. Tapi nyatanya, menyandang sebutan istri bukanlah tentang profesi. Istri adalah gelar yang kau sandangkan atas seluruh cintaku dan seluruh ikhlasku. Istri adalah jabatan yang akan membuatku menjadi bidadarimu di akhirat nanti. Awas saja jika sebelum aku datang kau sudah main mata dengan bidadari disana. Akan ku laporkan kau sebagai jiwa mata keranjang!

Baca juga:  Sepucuk Kata Untuk Suamiku

Tan, setelah ini aku bagaimana?. Setelah kerandamu pergi, setelah tamu-tamu tak datang lagi, dan setelah anak-anak kita kembali pada hidupnya. Lalu aku bagaimana?. Kau satu-satunya manusia yang berkawan dan berkawin denganku. Kau alasan, kau tujuan, kau nafas, kau detak. Saat kau tinggalkan, aku tidak hanya kehilangan separuh, tapi aku kehilangam seluruh. Tak terbayangkan kehilanganmu akan begini menyesakkan. Boleh aku menangis, dan menangis saja? Apakah kau akan sedih juga?

Tan, Baiklah!. Tanah telah menantimu, orang-orang terlalu lama menungguiku. Inilah saatnya aku benar-benar akan melepaskanmu. Aku ingin kau tahu aku sangat mencintaimu, pernah membencimu tapi hanya beberapa waktu. Aku ingin meminta maafmu, atas semua keras kepalaku. Nyatanya tidak akan ada lagi di dunia ini yang memahamiku seperti dirimu. Koneksi batin kita terputus disini karena kau sudah mati. Aku akan ikut menemanimu hingga kau sepenuhnya tertutup bumi. Sesekali aku akan kesini, tentu kau harus sabar mendengar gerutuku lagi dan lagi.
Tan hati ini tak akan rela, jiwa ini tak lagi utuh. Jadi maukah kau berbaik hati untuk menungguku sampai kita jumpa nanti? Dan semoga nanti itu tak akan lama lagi. Maaf aku tak akan mengucapkan selamat tinggal, karena kau tak akan pernah ku tinggalkan. Setelah matipun, kita tetap bersama. Tunggu aku, Tan. (*)

Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.

TAGGED:
Bagikan berita ini

KANTAMEDIA CHANNEL

YouTube Video
Bsi