SECANGKIR teh tumpah. Potongan cake masih utuh di piring. Tubuh wanita muda berpakaian stylish menelungkup di meja. Matanya melotot dengan mulut setengah terbuka. Mungkin sudah mati. Isi tasnya berhamburan keluar, tercecer dibawah kakinya yang terbalut sepatu mahal.
“Korban belum diketahui identitasnya. Diduga korban terbunuh karena racun pada minumannya. Seorang saksi mata melihatnya menelepon orang beberapa saat sebelum jam meninggalnya. Tapi ponselnya lenyap. Juga tak ditemukan dompet ataupun alat pembayaran lain di sini. Mustahil ia memesan makanan tapi tak membawa uang atau semisalnya. Kemungkinan besar ini kasus perampokan, Inspektur.” Salah satu petugas polisi membeberkan hipotesis awalnya pada seseorang yang dipanggilnya inspektur.
Sang inspektur mengangguk-angguk, “Kalau begitu, datangkan saksi mata itu kemari!”
Petugas polisi tadi mengangguk. Gegas menarik tanganku yang sejak tadi telah berdiri di belakangnya. Posisi kami jadi berdampingan sekarang.
“Namanya Reno. Usia 10 tahun. Seorang pelajar di SD Maju Tak Gentar.” Polisi yang menarik tanganku menjelaskan singkat. Inspektur itu menatapku kaget. Barangkali maksud ekspresinya, saksi matanya seorang bocah?
Aku memang suka misteri, tapi siapa yang berharap berada di situasi seperti ini? Tak ada. Sial sekali, liburan yang harusnya kuhabiskan dengan keluarga malah berakhir dengan polisi. Semestinya, begitu kusadari tak ada ponsel di meja atau di lantai, aku tak asal nyeletuk jika aku telah melihat wanita malang itu berteleponan tadi. Tapi apa daya, nasi sudah menjadi bubur.
“Baiklah, Nak, sekarang jelaskan apa yang kau saksikan tadi.”
“Saya dan keluarga sampai di restoran ini sekitar jam 09.00. Lalu tak tahu persisnya, mungkin setengah jam kemudian atau lebih sedikit, saya pergi ke toilet. Saat itulah saya melihat korban sedang bertelepon dengan entah siapa. Hanya sekilas, tapi saya berani jamin tidak salah lihat, Pak Inspektur.”
“Setelah kami datang dan memasang garis polisi, dari tengah kerumunan anak ini tiba-tiba berteriak, ‘Ponselnya hilang. Sebelumnya saya lihat wanita itu menelepon seseorang.’” Petugas polisi di sampingku menambahi. Aku mengangguk sambil melirik keluargaku yang berdiri di luar garis polisi: ayah, ibu, serta kakak laki-lakiku. Mereka menatapku cemas.
“Apa kau tahu ponsel korban seperti apa, Nak?”
“Tidak terlihat jelas bagaimana, tapi warnanya hitam, Pak Inspektur.”
“Sayangnya, pasti banyak sekali yang memiliki posel hitam.” Inspektur menghela napas. “Apakah ada saksi lain?” Inspektur bertanya lagi pada polisi di sampingku.
Yang ditanya menggelengkan kepala, “Tak ada, Inspektur. Tempat duduk wanita itu sedikit terpisah, tak terlihat dari kamera pengawas. Pengunjung lain juga tak ada yang duduk di sekitar meja itu karena dekat dengan toilet.”
“Inspektur!” Seorang petugas polisi lain berjalan mendekat sambil membawa beberapa catatan. “Hasil dari tim forensik menyatakan jika dalam minumannya positif mengandung kalium sianida. Pelaku menggunakan racun tersebut untuk membunuh korban.”
Aku menelan ludah. Tentu tak asing lagi bagiku mendengar nama senyawa beracun itu. Aku banyak membaca kisah pembunuhan dengan racun itu dari komik terkenal dengan tokoh utama detektif SD berkacamata. Hanya saja tak pernah terpikir jika akan kutemui langsung kasus yang seperti ini.
“Cari siapa yang mengantarkan pesanan wanita itu ke mejanya!” Inspektur memberi perintah yang langsung diangguki beberapa petugas.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.