Tiba-tiba datang seorang laki-laki berjas rapi menerobos kerumunan, “Ada apa ini? Kenapa banyak polisi di sini?” Suranya yang kencang membuat semua orang menoleh. “Astaga, apa itu Maya?” pekiknya kaget dengan wajah pucat.
Inspektur menoleh pada laki-laki itu, “Anda mengenal korban?”
Laki-laki berjas diam sejenak, “Iya, Pak. Dia kolega bisnis saya. Awalnya saya ada janji dengannya di sini. Kami janjian lewat telepon dua jam yang lalu. Tapi ketika saya hendak mengubah pertemuan dan menghubunginya, ponselnya tidak aktif. Jadi saya memutuskan menyusulnya kemari.”
Inspektur mengangguk, menyuruh petugas polisi lain memberinya jalan lewat untuk ditanyai lebih lanjut.
“Inspektur, ini orang yang mengantar pesanan ke meja korban, pemilik restoran ini sendiri.” Seorang petugas polisi menggiring lelaki paruh baya mendekat.
Inspektur menyuruh lelaki paruh baya itu menceritakan kejadiannya. Ia menjelaskan singkat, perihal pemesanan dan pengantaran makanan pada korban. Tak ada yang janggal dari penjelasannya. Tapi aku merasa ada yang aneh. Insting peminat misteriku tiba-tiba keluar.
“Kenapa Anda perlu repot-repot mengantarkan pesanan pada korban, Pak? Padahal ada banyak pelayan di sini?” Petugas polisi di sampingku bertanya hal yang juga menjadi pertanyaanku.
“Kami kebetulan kenal, Pak. Dia pelanggan tetap di restoran ini”
“Kenapa Anda tak tampak sejak tadi, Pak? Bukankah Bapak mengenal korban? Bapak juga pemilik restoran ini, kenapa tidak keluar begitu ada insiden yang terjadi?”
Lelaki paruh baya terkekeh, “Apa kau mencurigaiku, Nak? Ah, iya, Pak Inspektur, saat anak buah Anda menghubungiku tadi, salah seorang juru masak saya ditemukan tak sadarkan diri di terminal agak jauh dari sini. Saya minta maaf jika tidak bisa hadir lebih awal.”
Aku terperangah. Entah kenapa aku merasa musibah yang menimpa juru masak itu ada hubungannya dengan kasus ini.
“Apa saya sudah boleh pulang, Pak?” Laki-laki berjas rapi menyela.
Polisi di sampingku menahannya, tak mempedulikan tatapan tajam Inspektur karena telah lancang mendahului keputusannya. Polisi itu beralasan ada yang mau ditanyakan lagi. Padahal kurasa ia telah diinterogasi polisi lain tadi. Apa petugas polisi satu ini mencurigai laki-laki berjas sebagai pelaku? Meski tak menutup kemungkinan, tapi tak ada jejak apa pun yang mengarah kepadanya.
Aku menopang daguku dengan jempol dan telunjuk kananku seperti gaya tokoh-tokoh detektif yang kulihat di komik. Siapa pelaku sebenarnya? Tersangka yang ada hubungan dengan korban sehari ini hanya ada dua, pemilik restoran dan laki-laki berjas rapi itu. Mereka juga tak punya alibi. Yang satu sedang di luar mengurus juru masaknya—kabar terbaru ia belum sadarkan diri dan dikawal petugas polisi, yang satu lagi mengaku di rumah sendiri.
Lama inspektur maupun petugas polisi belum menemukan titik terang.
“Meski belum ada bukti, pemilik restoran memiliki kesempatan melakukannya,” Polisi di sampingku bergumam, “Tapi bagaimana dengan dompet dan ponsel yang hilang? Seluruh restoran telah digeledah dan tak ditemukan. Kolega bisnisnya bisa saja menyembunyikan ponsel agar tak dicurigai karena namanya ada di riwayat panggilan—yang barangkali—terakhir pada ponsel korban. Tapi bagaimana caranya meracuni korban? Pengunjung lain mengaku belum ada yang pernah melihatnya datang ke sini, kamera pengawas pun demikian. Pihak lain yang mungkin melakukan adalah para juru masak namun, tak ada yang mencurigakan.”
Aku yang dari tadi mendengarkan gumaman polisi itu teringat sesuatu demi mendengar frasa juru masak diucapkan.
“Apakah juru masak Bapak yang terkena musibah tadi sudah sadar?”
Pemilik restoran menggeleng, hendak mengatakan belum, tapi ponsel di sakunya bergetar terlebih dahulu. Begitu diangkat, suara nyaring dari seberang terdengar.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.