Tidak tahan melihat suasana panik dan darah yang bercucuran di jalanan, Ikal mengusap kedua matanya untuk bisa kembali ke situasi asalnya. Itu benar-benar bekerja dengan sangat baik. Es teh di genggamannya tinggal setengah. Ikal berjalan mendekati pedagang koran yang melayani pembeli –seorang pria paruh baya berkemeja biru tua. Setelah dirasa tak sibuk, Ikal pun mendekati pedagang tersebut untuk menguji kebenaran yang dilihatnya tadi.
“Permisi, Pak! Sudah berapa lama Bapak berjualan di sini?”
“Sekitar dua puluh tahun, sih. Kenapa memangnya, Dik?”
“Ruko ini milik Bapak?”
“Iya, sudah hampir lima belas tahun saya berjualan di ruko ini. Sebelumnya sih jalan kaki sembari menawarkan pada mobil-mobil yang berhenti.”
Ikal terkejut bukan kepalang. Lima belas tahun. Dia menghitung berapa detik ia menatap pedagang itu. Lima belas detik berarti lima belas tahun.
“Bapak pernah mengalami kecelakaan di lampu merah sana?” Ikal menunjuk pada zebra cross yang kini digunakan orang-orang menyebrang.
Sama terkejutnya, pedagang itu pun menggaruk kepala belakangnya. Mengerutkan alis dan berkata, “Kok kamu bisa tahu, Dik? Itu sudah lama sekali. Mungkin sekitar empat belas atau lima belas tahun lalu. Bahkan tempat ini diberikan oleh orang yang menabrak saya waktu itu. Makanya saya bisa berjualan di sini.” Dia menjelaskan. Pandangannya tertuju pada Ikal dari ujung kaki sampai atas kepala. Melihat bocah yang mengenakan seragam biru putih. Menandakan seharusnya Ikal tak ada di sana sewaktu kejadian, atau bahkan belum lahir.
Tanpa menjawab pertanyaan dari pedagang koran, Ikal hanya berkata, “Oh, kalau begitu, saya pamit dulu, Pak. Terima kasih sudah menjawab.”
Ikal bergegas meninggalkan pedagang dan kembali menuju rumahnya. Kepalanya sedikit pusing karena kembali pada masa lalu. Begitulah pikirnya. Tapi siapa sangka jika yang dilihatnya adalah sebuah kebenaran masa lampau. Mulai dari pedagang bakso dan pedagang koran di pinggir jalan lampu merah.
Ikal pulang ke rumah tanpa ada orang yang menunggu. Ibunya pergi bekerja sebagai pembantu rumah tangga di komplek. Sisa makanan pagi yang juga menjadi makan siangnya tergeletak di atas meja. Tidak berselera makan, dia pun beranjak ke kamarnya. Kepalanya masih sakit. Sambil memegang rambut, Ikal menatap cermin. Melihat wajahnya yang sedikit gosong karena teriknya matahari. Keningnya sedikit kemerahan karena terlalu lama diusap selama perjalanan pulang.
Semakin lama Ikal menatap cermin, semakin ia merasa terhipnotis. Tak ingin menjauh dari cermin. Dia tidak tahu seberapa lama ia memandang, tapi yang pasti, kesadarannya hilang karena sakit kepalanya semakin parah. Bayangan gelap tiba-tiba muncul.
Ikal merasakan dirinya tergeletak di lantai kamar. Sekarang dia tidak tahu berada di mana. Terdapat selang yang terbuat dari kulit berwarna kemerahan. Selang itu menyambung ke perutnya. Dia meringkuk seperti janin yang berada di dalam kandungan ibunya.
Benar. Sekarang dia berada di dalam perut sang ibu. Usapan tangan ibunya begitu terasa. Bahkan suara tangis gemetarnya, Ikal bisa dengar. Dari dalam perut, dia mendengar semuanya. Suara tinggi bapaknya yang wajahnya tidak terlihat. Percekcokan yang terjadi antara bapak dan ibunya terdengar sangat jelas. Ibunya meminta agar pernikahan cepat dilangsukan, karena Ikal sudah mulai tumbuh dari embrio menjadi janin. Tapi penolakan bapaknya membuat Ikal merasa sakit yang teramat sangat. Itu juga yang dirasakan ibunya.
Setelah terjadi perselisihan cukup lama, Ikal tersadar jika ia sudah berada jauh dari jangkauan bapaknya. Suaranya tidak terdengar lagi. Hanya ada suara ibunya yang terus menangis sepanjang perjalanan pulang. Dia rasa, keinginan ibunya tak tercapai. Beberapa kali ia mendapatkan usapan tangan lembut dan suara manis sang ibu yang berkata, “Kita berdua akan baik-baik saja tanpa bapak. Kamu tenang saja, Nak.”
Kesadaran Ikal kembali. Meski kepalanya masih terasa pusing, dia sedikit lega karena mendengarkan langsung percakapan terakhir orangtuanya. Sekarang dia sadar, kenapa ibunya tak pernah memberitahu keberadaan sang bapak. Rasa kecewa dan pengkhianatan terbesar masih melekat di hati ibunya sampai sekarang.
Ikal sudah tidak penasaran lagi tentang wajah dan kondisi bapaknya sekarang. Sejak saat itu, dia tidak pernah bertanya lagi pada ibunya tentang lelaki yang bahkan tak ingin tahu namanya. (**)
(Cerpen Karangan: Putri Oktaviani. Lahir di Tangerang Tahun 2000. Alumnus Akuntansi di Perguruan Tinggi Swasta. Novelnya terbit ekslusif di platform digital; Five Eternal Rings, Replaceable Love, Lady in Red of Magnolia, Violette Scarlette. Cerpennya dimuat di media digital; Menu Sebelas Tahun, Bisikan Rumah Handoko, Lelaki Berpayung Putih. Penikmat fiksi genre thriller dan misteri. Bisa disapa via IG @putri.oktavn)
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.