KUSMIDI tampak kelelahan. Terduduk dalam renung, matanya terlihat linglung. Peluhnya tak henti mengalir, panas terik tak dapat diusir. Beberapa kali Kusmidi menarik nafas. Badannya terasa kebas, remuk, luluh lantak ditampar kenyataan. Mak Dau, pemilik warung tempat kini Kusmidi mematung, terlampau bingung. Diawasinya pria paruh baya itu lekat, takut-takut dikerjai setan lewat.
Beberapa jam Kusmidi hanya diam. Tak ada pesan kopi atau makan, dia hanya duduk seolah tertanam. Mak Dau merasa khawatir, ditungguinya Abah Dau pulang dari langgar, agar ditanyainya Kusmidi, perihal apa dia bisa menjadi begitu diam.
Tatapan Kusmidi masih nanar, Abah Dau menepuk pundaknya, berusaha membuyarkan lamunan. Kusmidi tak berkata-kata, Abah Dau mengernyitkan wajah tak mengerti. “Kenapa kau ini, Kus?” tanya Abah Dau berkali-kali. Kusmidi hanya terus bersandar, seperti orang yang belum sadar. Abah Dau menggerak-gerakkan tangannya di depan muka Kusmidi, memastikan masih hidup atau mati. Orang-orang di warung tak kalah bingung, sambil terus sibuk mengisi lambung. Sesekali mencuri pandang pada Kusmidi dan Abah Dau, siapa tahu ada sesuatu yang seru. Abah Dau kehabisan kesabaran. Digoyang-goyangkannya badan Kusmidi. “Hey! Sadarlah, Kus!” teriak Abah Dau. Kusmidi hanya melirik, lalu bengong lagi. Abah Dau kehabisan akal, dipanggilnya Mak Dau untuk datang.
“Mak! Panggil orang pintar!” perintah Abah Dau. Mak Dau bingung, dimana dia harus mencari orang pintar saat semua orang akhir-akhir ini merasa dirinya lah yang paling pintar. Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba Kusmidi meraung dan mulai menangis. Abah Dau melompat saking kagetnya. Seolah kesurupan, tangis Kusmidi tak bisa dikendalikan. Dipandanginya Kusmidi yang kini tersungkur di tanah. Abah Dau dan Mak Dau membujuknya untuk bangkit tapi Kusmidi kukuh tak mau diusik. Dia hanya terus meraung dan membanjiri siang itu dengan tangis. Semua pengunjung warung keluar. Aha! akhirnya ada tontonan. Seorang bapak paruh baya sedang tatrum tak tahu apa masalahnya, hanya senang saja melihatnya. Kadang di dalam pahitnya hidup, ada rasa manis saat melihat orang lain sedang krisis. Sungguh bukan diri tak tahu budi, tapi penghiburan bahwa derita tak ditanggung sendiri, rasanya asyik sekali.
Abah Dau sangat kesal, Kusmidi tak dapat dihentikan. Diambilnya seember air dan disiramkannya ke atas kepala Kusmidi, sambil berteriak “Setan! Pergi dari badan Kusmidi!” usirnya. Masih yakin ia bahwa Kusmidi kesurupan. Dibacakannya beberapa ayat suci Al-Qur’an berharap setan itu kepanasan. Dan benar saja, Kusmidi melemah, dalam basah dia menengadah. Memandang hamparan langit di atas sana, berharap segera jatuh menimpa kepalanya. Abah Dau mendapat tepuk tangan, apa yang dilakukannya ternyata tepat sasaran. Dalam hati Abah Dau berirama, “Ternyata aku sakti juga!”.
Kusmidi linglung, badannya tampak lemah. Mak Dau buru-buru membuatkan segelas teh hangat, berharap Kusmidi segera sadar. Kusmidi meminum teh hangat itu, dipandanginya Mak Dau dan Abah Dau bersamaan. Mereka orang baik, sudah terlampau banyak Kusmidi merepotkan. Sudah tak terhitung berapa kali Kusmidi diijinkan makan gratis di warungnya. Tak sampai hati Kusmidi menambah beban. Warung kecil doyong yang hampir roboh itu sebentar lagi pun akan dibongkar Satpol PP. “Terima Kasih Mak, Abah…” Kusmidi bangkit. Abah Dau menahannya, “Kenapa kau ini, Kus?” tanyanya. Kusmidi tak menjawab, matanya berkaca-kaca. Tak ada bedanya, diceritakan atau diteriakkan, tak akan ketemu solusinya. Kusmidi lalu menggeleng, mendekapkan kedua tangan, dan pergi menghilang.
Kusmidi berjalan sempoyongan. Hatinya sakit, tapi kepalanya terus menampilkan peristiwa-peristiwa saat dia bertemu Romli. Romli adalah penumpang di angkotnya, yang selalu duduk di bangku depan, dan tersenyum sopan. Membawa beberapa berkas, dan menyandang tas yang berkualitas. Bajunya licin, rambutnya disisir rapi, dan baunya selalu wangi. Romli begitu gagah, dengan tawa yang sumringah, membuat Kusmidi jatuh terkesima.
Suatu ketika, Romli berkata bahwa dia membutuhkan bantuan Kusmidi. Ada hal besar yang harus Romli antar dengan aman, yaitu uang sejumlah satu miliar. Mendengarnya, Kusmidi seolah mau pingsan, sedikit mimisan, tak sampai otaknya membayangkan, sebanyak apa uang satu milyar. Tapi semua harus jadi rahasia, dan akan ada upah untuk Kusmidi jika membantunya. Kusmidi penasaran, dan diapun menyanggupi waktu yang telah ditentukan.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.