Manusia Tanpa Kata

Oleh: Mira D. Lazuba

APA yang paling sulit diungkapkan oleh hati? Terkadang untuk memahaminya harus dimulai dengan pertanyaan. Seluruh dunia bertanya pada Tama, mengapa begitu haram baginya kata maaf. Keangkuhan macam apa yang begitu mendarah pada dagingnya. Hingga tak boleh sekalipun kata itu terucap dari mulutnya. Dipaksa, bahkan diancam tak membuat Tama menyerah. Dalihnya, tubuhnya memang tidak memproduksi kata itu.

Kata yang seharusnya menjadi pondasi dasar seorang manusia berkehidupan, membuat hidup Tama yang tak memilikinya, menjadi kacau balau. Diasingkan, dianggap sombong, difitnah, tidak memiliki teman adalah harga untuk seseorang yang hidup tanpa kata ‘Maaf’.

Tama mencari, dimana ditinggalkannya kata itu. Kapan kata itu benar-benar hilang dari pembendaharaan otaknya. Hingga ia sampai disebuah makam tua, tempat Ibunya yang baik hati, tengah bersantai bertemankan cacing dan tanah. Diusapnya nisan lusuh dari makam itu.

Tak terasa dua puluh tahun lamanya, Tama tak berkunjung. Apakah disana ditinggalkannya kata itu? Apakah kata maaf milik Tama ikut dikubur bersama Ibunya?.

Tama masih mengingat gelungan rambut ibunya sehari-hari. Senyum hangat yang menimbulkan lengkungan di mata wanita paruh baya itu selalu berhasil membuat Tama tenang. Wajah lelah itu akan selalu kebiru-biruan. Beberapa bogem dan tendangan ayahnya, berbaik hati untuk selalu memberikan bekas kenang-kenangan. Dari jerit, raung, hingga diam, masa demi masa tak ada absennya. Dari tangis, takut, hingga sesak semua mencabik jiwa Tama tanpa ampun. Maka setiap malam, setelah merapikan bentuknya yang acak-acakan, Ibu akan masuk ke kamar Tama, mengusap kepala Tama, mengecup kening dan pipinya, mengucapkan selamat malam, selamat tidur dan satu kalimat lagi, “Maafin Ibu ya, Nak”.

Baca juga:  Kekasih Virtual

Untuk Tama kecil, Ibunya tak memiliki cela. Ibunya adalah perempuan lembut dengan tawa riang yang menyenangkan. Dekapannya, belaiannya, adalah isyarat yang akan selalu membuat Tama merasa aman, merasa bahwa semua baik-baik saja. Walau dengan bibir jontor, mata bengkak, pelipis terluka, Ibunya akan dengan senyum terbaiknya memeluki tubuh Tama, dan membisikkan, “Maaf ya, Nak”.

Entah apa yang harus dimaafkan. Ibunya akan selalu meminta maaf untuk semua hal yang tidak Tama mengerti.

Baca juga:  Semangat Merdeka

Bagi Tama, konsep kata maaf telah terkonstruksi dan kehilangan makna asli. Meninggalkannya dengan ke-tidak-mengerti-an kapan kata ‘maaf’ pantas untuk diucapkan. Salah dan benar nyatanya adalah subjektifitas yang tidak bisa tegak lurus artinya sehingga patut ditanggapi dengan kata maaf. Seorang suami yang menghajar istrinya tanpa ampun, tidak bisa dihentikan dengan kata maaf, walau sudah diucapkan ribuan kali oleh sang istri. Istri akan berakhir tetap penuh luka dan bonyok. Kata maaf tidak juga membuat trauma yang dialami seorang anak menjadi angin lalu saja. Maka, apa gunanya kata maaf?

Malam rutin seperti biasanya, Tama akan mendengarkan suara bak buk dari kamar orang tuanya. Sesekali didengarnya rintihan kata maaf, terkadang juga ampun. Tapi gelap masih terlalu panjang untuk berlalu. Tama akan menunggu, hingga ibunya masuk ke kamarnya, kembali membelai kepalanya, dan membisikkan, “Maafin Ibu ya, Nak”. Ibu Tama akan tertidur dilantai, dibawah dipan Tama. Dan saat itulah ia baru bisa benar-benar lelap.

Sayangnya, pagi itu saat Tama bangun, tidak biasanya ibu masih disana. Bertelungkup dalam hikmat, melengkungkan tubuhnya. Pintu dibanting dan Ayah masuk penuh amarah. Kembali melayangkan tendangan mautnya, bertubi-tubi tanpa ampun. Sayangnya Ibu Tama tak merespon, tak bergerak sama sekali. Tama ketakutan, masih hangat diingatan, wajah kebiruan itu lebih biru dari biasanya. Ayah Tama menyadari sesuatu dan segera berlari pergi. Tama tak pernah melihat ayahnya lagi, hingga akhirnya laki-laki itu dibawa oleh polisi.

Baca juga:  Waktunya Sudah Habis

Tama masih memandangi nisan ibunya. Dia tetap tak bisa berucap kata maaf. Karena baginya maaf terlalu pilih kasih. Maaf tidak membuat ibunya tetap di sisi. Nyatanya, maaf tidak menyelamatkan sebuah nyawa. Lalu mengapa ada kata maaf, saat kata itu tidak memiliki kekuatan magis-nya. Mengapa orang begitu ringan dan riang mengucapkannya, tapi tak merubah perilaku ataupun keadaan.

Bagi Tama, maaf hanyalah hiasan dalam berjuta pilihan bahasa, yang menggantung indah dibibir-bibir manusia. Dia ada tapi tak berguna. Dan Tama tidak memiliki kosakata itu dalam indeks-nya. Maka begitulah kisah tentang seorang manusia tanpa kata maaf. (***)

Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.

TAGGED:
Bagikan berita ini

KANTAMEDIA CHANNEL

YouTube Video
Bsi