AKU teringat kisah mayat yang bangkit kembali, setelah aku tanpa sengaja membuat Anna tak lagi bergerak. Kakak yang memberitahuku cerita seram itu di ruang makan, pada Jumat sore ketika Mama terlambat pulang.
“Sebenarnya aku tak mau menceritakan ini,” kata Kakak, membuka jendela yang menghadap halaman belakang, lalu mengeluarkan kotak rokok yang selalu ia sembunyikan dari Mama. “Aku sudah berjanji pada Mama untuk tidak membuatmu takut.” Kakak menyulut rokoknya. Asap yang ia tiupkan ke luar jendela ditiup balik oleh angin sehingga kembali ke ruang makan: asap menyusup di antara barisan piring di rak dan tulip-tulip yang dipajang di meja makan, seperti sepasukan tentara hantu yang hendak meringkusku. “Tapi, cerita kali ini benar-benar penting. Jika kau ingin mendengarnya, berjanjilah, kau harus tidur sendiri malam ini.”
Ragu-ragu, aku mengangguk. Dan aku tak menyesal karena telah mengangguk, telah menghadapi malam panjang dan mimpi buruk: kini cerita itu mestinya berguna buatku, untuk mencegah Anna-yang-hidup-lagi memakan lidahku.
***
Aku menganggap Anna sebagai sahabat, sampai ia mulai menjilati lidahku.
Suatu hari di tengah jam pelajaran, aku ingin kencing dan meminta izin pada Bu Guru untuk ke toilet di halaman belakang sekolah. Begitu aku sampai di ujung koridor tempat pintu-pintu toilet berbaris dan menguarkan bau pesing, aku memergoki dua orang kakak kelas sedang menjilati lidah satu sama lain. Dari tinggi badan, kutebak mereka kelas lima atau enam. Lelaki pertama, yang dihimpit ke dinding, beramput cepak; lelaki kedua, yang menghimpit lelaki pertama, berambut keriting—mereka sontak menoleh padaku. Aku refleks berbalik dan hendak kabur, namun tersandung kaki sendiri dan daguku menghajar lantai. Tahu-tahu kakiku diseret hingga aku semakin dalam memasuki koridor—di permukaan lantai ada sesuatu yang kasar dan menggores daguku—dan mereka menendangiku sampai aku tak bisa menjerit atau menangis atau berbuat apa pun. Kemudian terlihat kaki orang ketiga datang dan terdengarlah pukulan: lelaki pertama terjatuh, wajahnya yang kabur tepat menghadap wajahku di lantai. Dan menyusul suara pukulan kedua: lelaki kedua terjatuh, kepalanya menimpa bokongku. Aku sudah bersiap mendengar suara pukulan ketiga, pukulan pada wajahku. Namun tak ada pukulan ketiga; kedua kakak kelas itu bangkit dan kabur. Seseorang yang baru datang itu berjongkok di hadapanku. Ia membawa sepotong kayu; mungkin ia mengambilnya dari bagian sekolah yang direnovasi. Ujung roknya terayun perlahan.
“Aku Anna,” kata gadis itu—entah kenapa ia datang ke koridor toilet lelaki. Ia teman sekelasku; beberapa hari lalu ia memperkenalkan diri di depan kelas, sembari memelintir kedua ujung rambutnya yang dikuncir. “Mau es krim?”
Aku tak tahu harus menjawab apa. Perut dan dada dan lenganku berdenyut-denyut akibat ditendang. Lantai mulai membuatku kedinginan dan meruapkan samar-samar bau lumpur kering. Dan Anna membantuku berdiri; dari tubuhnya samar-samar aku mengendus parfum khas pria dewasa—mungkin parfum ayahnya.
“Kupikir kau lucu,” lanjut Anna. “Itu kenapa aku mengikutimu ke sini.”
Di jam istirahat, Anna menghampiriku di kantin dan memberiku semangkuk es krim, dan aku membayarnya dengan bekal makan siangku. Kami makan berhadap-hadapan; ia begitu lahap seolah lupa bahwa ada aku dan murid-murid lain di dekatnya. Sementara itu aku, sembari menyuap es krim secara lambat, memerhatikan setiap murid yang melintas di dekat meja kami, memastikan kedua kakak kelas tadi tak datang kembali. Sejak hari itu, kami jadi sering bertukar bekal makan siang, bertukar lelucon, dan berkunjung ke rumah satu sama lain setiap Sabtu atau Minggu—lalu aku tanpa sengaja membunuhnya pada Sabtu sore, dan hujan datang tiba-tiba.
***
“Ketika seseorang baru mati,” kata Kakak, duduk di birai jendela, “hujan akan membuatnya hidup kembali. Aku serius.”
Aku bertanya apa hubungan antara hujan dengan mayat yang hidup kembali. Kakak meniupkan asap rokok lurus ke arah meja makan, ke arah tempat dudukku yang terletak dua belas langkah darinya, dan membalas, “Karena … arwah-arwah yang terbang ke langit jadi jatuh ke bumi gara-gara hujan.” Kakak menjentikkan abu rokok keluar jendela. “Dan jika arwah jatuh ke mayat, maka terjadilah ….”
***
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.