SEHARI setelah keluar dari rumah sakit jiwa ia dimasukkan ke penjara. Tiga bulan lalu, saat itu ia duduk di bangku yang berhadapan dengan gereja rumah sakit jiwa.
Sebelum panggilan meminum pil siang hari (yang tidak lain pil tidur dan anti depresan), ia ingin mengurung dirinya untuk berpikir lebih bebas. Orang selalu mampu menerawang bahwa ia menghayalkan sesuatu tapi belum ada yang mampu menebak sejauh mana khayalan itu membenam dirinya dalam keinginan membunuh ayahnya sendiri.
Tepat 79 hari berada di rumah sakit jiwa, ayahnya meninggal. Mengetahui kabar itu ia menangis sepanjang hari di kamar. Kerongkongannya terasa luka, rusuknya terasa berat dan tajam hingga menusuk punggungnya dan mengoyak dadanya. Penderitaan itu sungguh menyiksa. Bukan karena ayahnya mati, tapi karena ia tidak bisa membunuh ayahnya seperti cara yang ia bayangkan selama ini.
Tiga hari berikutnya ia mulai berhenti menangis dan kembali duduk di bangku dekat gereja. Perawat mulai mengajaknya berbicara dan memeriksanya, jika ia mampu bertahan selama seminggu dalam keadaan seperti itu ia akan dibebaskan. Sesuai jadwal awal yang telah direncanakan.
Sehari setelah keluar dari rumah sakit jiwa ia dinyatakan sehat dan dapat kembali ke rumah. Ibunya menyambutnya dan para tetangga menutup rumahnya. Sebelum tidur malam itu ia berbincang dengan ibunya, “Aku mungkin gila, Bu, tapi hidup di dalam rumah sakit jiwa, semua hal di sana menambah kegilaanku.” Ibunya tersenyum dan tidak bisa berkata apa-apa. Ia beranjak memeluk ibunya dan tangis mereka pun pecah bersamaan.
Ia tidak bisa tidur. Pikiran untuk membunuh ayahnya terus terbayang dan membuatnya berjalan keluar rumah dan mencari kuburan ayahnya. Ia kelimpungan dan menggali kuburan orang lain dan membawa mayat di kuburan itu ke rumah. Semuanya terasa begitu cepat, hingga di pagi hari, saat tertidur di hadapan mayat seorang lelaki, lima orang polisi mengetuk dan masuk ke rumahnya.
Surat keterangan bebas dan sehat dari rumah sakit membuatnya digiring masuk ke dalam rumah tahanan. Ibunya tidak punya apa pun untuk memperoleh surat pembelaan lain. Kehabisan uang dan kata-kata. Dua orang sipir mengapitnya dan seorang lagi di depan berjalan dengan segantung kunci yang bergemerincing di sepanjang koridor menuju blok C. Ia mengenakan baju biru tua yang sudah kusam, celana puntung dari kain kanvas yang tebal dan kaku, rambutnya masih botak bekas cukuran di rumah sakit jiwa.
Tiga belas orang lain duduk di dalam ruangan yang gelap dan murung. Ia melihat mata mereka yang berkantung dan hitam. Seorang lelaki balik menatap, ada bekas bacokan di pipi kiri hingga pelipisnya.
“Kau yang membunuh ayahmu sendiri?”
Ia menatapnya, diam tiga detik, melihat lantai dan menjawabnya.
“Aku membunuh ayahku. Bisa iya bisa tidak.”
Orang-orang lain masih melihatnya dan kini dengan tatapan meminta jawaban.
Ia menceritakan bagaimana ayahnya mati karena jatuh dari atap rumah susun, dan bukan karena salahnya sama sekali. Ia sangat menyesal karena merasa bukan cara mati seperti itu yang diharapkan untuk ayahnya, maka ia mencari kuburannya, yang juga tidak mampu ia temukan, menggantung mayat lelaki yang dikira ayahnya itu di tiang penyambung atap rumah tepat di tengah ruang tamu, menyangga mulutnya di kedua gigi atas dan bawah dengan kayu dan mengumpatnya, meludahinya hingga puas. Ia berharap arwah ayahnya masih bergentayangan dan dapat melihat semuanya, dengan cara itu, ia mungkin membunuh ayahnya.
“Dan kau tahu? Akhirnya ia menang banyak. Bukan hanya membuatku menjadi pembunuh, aku juga kehilangan akal sehat.”
Suaranya terpantul, ia mendengar gema suaranya lalu merasa semua orang yang sanggup mendengar suaranya di blok itu turut diam mendengarkan, menyimak dengan khidmat. Lelaki dengan bacokan itu melihat ke kamar lain yang tepat berhadapan dengan kamarnya.
“Lihat lelaki itu? Dia memerkosa anak tetangganya, dan dia duduk di dalam sini, tujuh bulan, menelan cemoohan, bahkan lebih buruk dari pembunuh sekalipun.” Lelaki dengan bacokan itu sendiri tidak bercerita bahwa ia pelaku sodom seekor anjing di gudang penyimpanan kopra tempat ia bekerja.
Ia mulai menangis. “Ia memperlakukan anjing seperti anaknya dan anaknya seperti anjing, ia mengunci ibu di dalam kamar, dan keluar dengan perempuan lain setiap tengah malam.” Ia terisak, orang lain saling menatap dan bingung, ada yang ingin menahan tawa ada yang tidak tahu ingin mengatakan apa. Lelaki dengan bacokan itu menghampirinya dan menepuk pundaknya. “Nak, kau harusnya di rumah sakit, tapi di sini juga banyak orang sakit, dan kau sudah keluar dari sana kan? Jadi apa bedanya?”
Seumur hidupnya ia sudah tidak bisa menghitung semua cara ia ingin membunuh sang ayah. Menusuk perutnya dengan linggis, mengulitinya dan memotongnya sedikit demi sedikit, menyimpan tikus di atas perutnya yang ditutupi panci dan memanaskan panci perlahan-lahan, masih banyak lagi. Namun mengikat lehernya di tali, menyangga mulutnya dengan kayu adalah cara sederhana yang selalu membuatnya merasa puas, setiap kali ia berfantasi akan hari itu, akan kesempatan itu, keinginan untuk membunuh ayahnya semakin kuat dan membuat seluruh indranya hidup dan merasakan gairah dan semangat yang begitu tinggi.
Hingga hari itu tidak pernah terjadi persis seperti yang diinginkannya. Setelah menangisi kematian ayahnya yang payah, ia semakin banyak mengkhayal. Di rumah sakit jiwa, ia menemukan orang-orang yang menyedihkan. Di balik semua tingkah laku itu, wajah-wajah itu, seperti tidak ada dosa yang mengikutinya. Semuanya adalah derita yang tampaknya suci di mata para malaikat dan Tuhan.
Namun bagi dirinya sendiri, melihat wajahnya yang terpantul di kaca jendela atau cermin di kamarnya membuatnya benci setengah mati, sebab ia mengetahui hidupnya yang menjijikkan dan merasa tidak pantas untuk disamakan dengan orang-orang itu. Ia merasa gagal memenuhi keinginan hidupnya sendiri. Namun rencananya seolah tak pernah pupus, hingga ia berjanji tetap ingin mencari dan membunuh ayahnya sekali lagi.
Kini di luar blok itu, tiga orang sipir penjaga berbincang. “Lihat, ia bahkan tidak bisa membedakan lagi dirinya sendiri, apakah ia gila atau pendosa.”
Sipir lain menggeleng kepala dan untuk ketiga kalinya dalam percakapan itu menggumam seperti tak percaya. “Ia bahkan tidak bisa membedakan kuburan ayah dan tetangganya.” (*)
Nurul Fitroh | Lahir di Selayar, 13 Januari 1995. Tergabung dalam Kelas Menulis Literasi Makassar, Workshop Menulis Novel Kata Kerja, Komunitas menulis ILUSI Psikologi. Karya-karyanya pernah dimuat di Koran Tempo Makassar, Kompas Kampus, antologi Surat Cinta untuk Makassar (Makassar Eight Festival, 2016), kumpulan esai Telinga Palsu: 100 Esai Literasi Pilihan (2016).
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.