MALI membasuh keringat dengan handuk kecil kusam yang selalu dibawanya. Baunya sudah tengik, tak sempat dicuci. Panas begitu terik, tak memberi ampun pada seorang penjual bendera musiman seperti Mali. Berharap tahun ini semua Ketua RT tidak lupa mengingatkan warganya untuk harus memasang Bendera Merah Putih demi menyambut datangnya Hari Merdeka 17 Agustus yang selalu dinanti. Sesekali sepeda motor dan mobil-mobil itu akan berhenti. Beberapa membeli, beberapa ternyata hanya singgah menepi. Mali dengan ramah akan selalu melayani, dengan senyum mengembang dan rambut klimis rapi jali.
Menjual bendera membuat Mali bangga. Paling tidak dia yang bukan siapa-siapa memberi sumbangsih pada sebuah momentum bangsa. Di bulan ini dia boleh jumawa, Mali lah pahlawannya. Mengibarkan Bendera Sang Saka, tanpa perlu upacara. Dengan hikmad, Mali akan memajang bendera-bendera itu, berderet-deret, begitu semarak. Bahkan bulu kuduknya sering merinding, air matanya sempat menetes, betapa mulia mata pencahariannya ini. Mungkin kini Bung Tomo sedang mengamatinya dari surga, ikut menitikkan air mata. Betapa mudahnya bendera itu kini berkibar. Bahkan ditangan Mali sang pedagang musiman.
Tiba-tiba perutnya terasa lapar. Mali ingin segera pulang. Tapi jam pulang kantor sudah dekat. Mali takut kehilangan peluang. Siapa tahu seorang Pegawai Pemda sedang jalan cari bendera. Ah! malang betul jika rezeki itu harus lewat begitu saja. Mali tetap bertahan, dengan kepercayaan bahwa dia tidak akan membiarkan siapapun tidak kebagian bendera. Semua orang tentu harus mengibarkanya. Hingga Mali teringat pada tetangganya, Yanto. Kemarin Yanto bertanya tentang harga bendera jualannya. Setelah dijawab, Rp 35.000, Yanto tak berkata apa-apa lagi. Hal ini tentu mengusik Mali. Dia bertanya-tanya, apakah terlalu mahal harga selembar bendera itu untuk Yanto, Si Tukang Ojek?. Mali lalu membungkus satu Bendera Merah Putih baru yang masih terbungkus plastik dan membatin, tentu malam ini Yanto pasti akan membeli bendera itu. Hingga tak terasa, Adzan Magrib telah berkumandang. Kini Mali benar-benar memutuskan untuk pulang.
Mali telah sampai di rumah, ia melongok ke arah rumah Yanto dan betul saja belum ada bendera terkibar disana. Mali tersenyum, tentu saja malam ini Yanto akan membeli bendera itu. Seharian dia hanya menjual tiga buah bendera. Harapaannya besar, Yanto akan menjadi penglaris berikutnya.
Pagi menjelang, Mali sudah bersiap untuk kembali berjualan. Dilihatnya Yanto lewat di depan rumahnya, tapi tak berhenti. Yanto hanya melambaikan tangannya pada Mali dan dibalas Mali dengan lambaian pula. Mali bingung, tetapi masih tak dihiraukannya kegelisahan itu. Oh! mungkin karena masih tanggal 14, masih ada beberapa hari. Bendera yang disiapkan untuk Yanto sengaja Mali tinggal di rumah. Siapa tahu istri Yanto akan membelinya saat Mali tidak ada. Mali memanggil istrinya. Diamanatkannya dengan khusyuk pada Sang Istri, jikalau tetangganya ingin membeli bendera, sudah disimpankan dengan rapi di dalam lemari. Istri Mali mengangguk menyanggupi. Amanat itu begitu penting hingga Mali menekankannya berkali-kali. Setelah cukup yakin, Mali pun pergi, menuju pinggir jalanan lagi.
Seharian dengan setia Mali menjual Bendera Merah Putih. Ada yang besar, ada yang kecil, semua ukuran yang dicari akan dipenuhi. Makin dekat dengan tanggal 17 Agustus, pembeli makin ramai. Sesuai aturan suci penjualan musiman Bendera Merah Putih, semakin dekat hari, semakin harga tinggi. Mali belajar tentang prinsip ekonomi. Sambil meringis Mali berbisik di dalam hati, “Alamak! Handal betul aku ini dalam berjualan. Kalah lah bos-bos Pasar Teri”. Hari ini Mali untung besar. Beberapa bendera ukuran jumbo sedang banyak dicari. Magrib berkumandang, saatnya dia undur diri. Malipun berkemas dan pergi.
Sesampai di rumah diintipnya dalam lemari. Bendera Merah Putih untuk Yanto masih berdiam diri. Mali segera keluar rumah, melihat kearah rumah Yanto. Mali heran, belum ada bendera terpasang disana. Diapun memanggil kembali istrinya, bertanya tentang petuahnya. Sang Istri menggeleng pasrah, tak ada satupun yang datang bertanya perihal bendera. Mali menggigiti kukunya. Dia mulai cemas dengan kelakuan Yanto. Tapi kembali berusaha diredamnya. “Ah, mungkin esok!” bisiknya.
Sapaan Yanto selalu bersahutan setiap pagi, tapi tak ada perihal bendera dibicarakan. Mali mulai cemas karena besok adalah Hari Kemerdekaan. Jika tidak hari ini, kapan lagi Yanto akan memasang bendera di rumahnya. Seharian itu Mali tidak dapat berjualan dengan tenang. Beberapa kali dia menghubungi istrinya di rumah mewanti-wanti dan bertanya perihal bendera. Tapi tak juga ada tanda-tanda. Mali mulai gusar, “Apakah tak akan dikibarkannya Bendera Merah Putih di rumah Yanto tahun ini?”.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.