Memang benar, aku berada dalam bahaya sejak foto-foto itu kusebar. Suatu malam, bus yang kutumpangi mendadak hilang kendali dan menabrak sebuah dasar jurang. Tak ada yang selamat dalam kejadian itu, kecuali dua orang penumpang lain dan diriku. Roy, rekan yang mengantarku ke rumah Ali Mugeni, tewas seketika dengan tubuh terbelah oleh dempetan kursi.
Tak berapa lama, sebuah ambulans meluncur, membelah gelap di kawasan hutan rimba itu. Orang-orang berbadan tegap turun dan menyeretku usai tanpa perasaan menembak mati dua penumpang yang selamat. Aku dibungkam dengan kain lap dan kedua mataku ditutup dengan kasar oleh berlapis-lapis sarung bantal yang amat bau. Dengan tinjuan di titik tertentu, aku tak sadarkan diri.
Aku bangun di ruangan aneh dengan alat-alat operasi di kanan-kiriku. Seseorang di dekat tempatku berbaring memberi perintah kepada orang-orang berbadan besar untuk mengikatku dengan kencang.
“Jangan ada obat bius,” katanya menambahkan.
Aku mengerang kesakitan. Aku berteriak. Aku berada antara hidup dan mati demi berbagai siksaan yang kuterima. Tubuhku lemah dan kedua kakiku dipatahkan sebelum dilempar ke ruang gelap pekat bertembok besi. Udara di sini begitu tipis. Bahkan tidak kudengar suara seekor tikus pun. Aku terus bertanya-tanya, bagaimana aku bisa lari dari tempat ini?
Kemudian, kubayangkan Mariana dan teman-teman lain mendapat kesialan serupa. Mereka jelas tidak ada yang benar-benar bersuara demi kebenaran, tapi anak-cucu serta para sahabat Raja lama juga kurasa tak sebodoh itu.
Aku hanya bisa menangis beberapa lama. Lalu aku berteriak dengan sia-sia. Lalu kubayangkan tubuhku seringan kapas dan Tuhan memberiku semacam mukjizat agar tubuhku yang payah dapat menembus setiap benda yang menghalangiku dari kebebasan. Hanya saja, aku bukan nabi. Adakah lelaki yang bukan nabi mendapatkan mukjizat hanya demi sebuah kebenaran? (*)
Ken Hanggara | Lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.