SEPASANG mata aswad berkilat gemilang bagai binar dalam temaram malam. Sang pemilik netra berlari kecil menghampiri kerumunan di tengah panasnya Sang Baskara dunia yang menyuar suryanya kepada kumpulan manusia-manusia pinggiran kota setelah seharian mereka bekerja panas-panasan. Pun dengan lelaki yang masih berlari itu. Pakaiannya sekumuh jalanan yang ia susuri. Kulit kotor bercampur debu polusi dengan keringat lekat lengkap bagai pelengkap hias tubuh kurus berisi tulang rapuh tersebut. Sandal usang yang tampak telah diperbaiki berkali-kali dan hampir rusak lagi, tidak sama sekali menghalangi langkahnya.
“Pejabat itu akan datang kembali!” sorak-sorai salah satu penduduk kecil negara dengan senyuman selebar pulau-pulau kaya di Indonesia.
Kakek tua dengan kaos bergambar pasangan kebanggaan salah satu partai politik yang sedikit berlubang di area punggung dipadu celana cokelat selutut menanggapi dengan bangga, “saya masih menyimpan kaos mereka, sudah empat tahun.”
“Tapi mereka tidak menepati janji,” ucap seorang ibu seraya mendekap anaknya dalam gendongan kain, sembari menyuapi Sang Anak dengan nasi yang mulai mengering dan sayur kangkung layu yang diolah dan dimasak sesederhana mungkin.
“Yah, namanya juga pejabat negara. Mungkin sibuk mengurusi banyaknya permasalahan di Indonesia,” jawab Si Kakek Tua.
“Kemiskinan di daerah kita juga termasuk permasalahan negara,” balas Sang Ibu kembali.
Lelaki yang tadi berlari menghampiri perkumpulan diskusi kecil mengenai kewajiban dan janji Sang Pejabat Negara yang beberapa tahun silam memberi harapan kemajuan pada daerah kumuh tempatnya lahir, meniti kehidupan, dan mempersiapkan kematian nantinya. Sungguh, sebagai manusia, ia tidak pernah bergerak keluar dari lingkaran kekumuhan. Sepanjang masa hidupnya dihabiskan dalam perumahan gang kecil sudut kota, di sebelah saluran air pembuangan limbah pabrik sesekali menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga pula. Aroma tak sedap saluran pembuangan tidak jarang menguar bebas pada indera penciuman tiap manusia yang mendekatinya.
Ia berkata, “mungkin nanti ada saatnya kita kebagian. Percaya saja lah pada janji mereka, mereka itu orang berpendidikan tinggi dan mengerti konstitusi negeri.”
Ibu-ibu itu membuang sisa nasi kering di makanan anaknya sembari kembali berujar membalas perkataan lelaki yang baru saja bergabung, “empat tahun itu lama, loh. Giliran masa jabatannya mau habis baru ke sini lagi.”
“Sudah-sudah, Si Pejabat ingin datang ke sini lagi mungkin ingin menepati janji. Dia butuh dua periode untuk menuntaskan semua janjinya. Kan daerah di satu kota saja sangat luas.” Kakek Tua melipat tangannya di depan dada sambil berkata demikian.
“Lalu kalau dua periode didapatkan namun tetap tidak menepati semua janjinya, bagaimana? Menambah periode lagi? Tidak bisa begitu, dong. Peraturan tetap peraturan, janji tetap janji.” Ibu-ibu itu menyambar lagi, kini menatap Si Kakek dengan tatapan bingung.
Baru saja Sang Lelaki bermata gelap ingin menjawab, sorak-sorai penduduk kembali terdengar. Anak-anak kecil berlarian mendekati suara mobil yang berhenti tepat di depan pemukiman kotor. Beberapa motor aparat mengelilingi mobil Si Pejabat, berusaha melindunginya dari marabahaya meskipun tak mungkin ada yang berani menyerangnya di saat seperti ini. Bahkan semua penduduk seolah menyambut senang akan kehadirannya.
“Mohon Bapak-Bapak, Ibu-Ibu menjauh!” perintah Si Aparat seolah para penduduk sangat membutuhkan kehadiran Sang Pejabat. Seolah Sang Pejabat adalah Dewa Penyelamat.
Ketika Sang Pejabat menunjukkan rupanya, turun dari mobil sedan berwarna hitam cemerlang yang bersih, lebih bersih dari pemukiman ini sendiri, para penduduk kembali menyuarakan kegembiraan serta kepercayaan. Beliau memakai kemeja rapi dan celana hitam panjang berbahan bagus. Sepatunya keren, bermerk mahal. Butuh waktu bertahun-tahun bagi para penduduk untuk memulung sampah hanya demi membeli barang seharga sepatu Sang Pejabat. Kacamata gelap bertengger di batang hidungnya, menghalau silau sinar matahari dari pandangan matanya. Rambut Si Pejabat masih sangat rapi tanpa setitik pun peluh keringat. Beliau melambaikan tangan pada masyarakat yang menyambutnya.
“Bagaimana kabarnya, Bapak-Ibu sekalian?” tanya Sang Pejabat dengan senyum mengayomi.
Laki-laki yang berlari di awal tadi menyelinap di antara kerumunan, mendekati eksistensi pejabat tersebut. Kemudian langsung menyahut, “Pak, kami percaya pada, Bapak. Tolong bantu kami!”
Mendengar kata ‘Tolong’, raut wajah Sang Pejabat berubah seratus delapan puluh derajat. Yang tadinya seakan ingin melindungi, kini seolah ingin menjauhi. Namun beliau berlaga profesional dengan menanggapi Si Pria usang dan menanyakan keluhannya.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.