Para Bisu Berbicara

Oleh: Essenza

“Lahan saya bekerja akan digusur. Itu satu-satunya mata pencaharian saya, Pak. Kalau sampai jadi digusur, nanti saya sekeluarga makan apa? Anak saya harus sekolah juga, Pak. Tolong,” keluhnya.
“Pak, saya juga ada permintaan, Pak. Empat tahun lalu Bapak bilang akan membangun fasilitas kesehatan di daerah ini, tapi sampai sekarang saya belum lihat ada pembangunan puskesmas di sekitar sini,” tambah seorang penduduk dengan baju kebesaran, “anak saya sakit-sakitan jadi agak sulit kalau harus bolak-balik ke rumah sakit yang agak jauh.”
“Pak, kenapa nenek saya mencuri sandal tapi dihukum begitu lama, tapi teman Bapak sesama pejabat yang korupsi justru dikurangi masa tahanannya? Kasihani nenek saya, Pak. Nenek mencuri karena butuh uang. Pak tolong sampaikan ini pada hakim dan penegak hukum, Pak!”
“Pak, tolong! Polusi dan debu di daerah ini sangat parah! Air kami juga jadi kotor. Anak-anak jadi sering sakit karena kondisi ini, Pak! Bukannya ada peraturan tentang lingkungan?’

Sang Pejabat melirik ke arah aparat. Sesaat kemudian para aparat mengamankan beberapa warga yang mengeluh dan menyuruh mereka diam, mundur menjauhi Si Pejabat. Sementara Si Pejabat berdeham kecil sambil membenarkan posisi jam mahal yang melingkari pergelangan tangannya. Diusap satu persatu batu akik dalam kungkungan cincin besar di jari telunjuk dan jari manis tangan kanannya.

Baca juga:  Seharap Namun Tak Sejalan

“Bapak-Ibu, mohon tenang!” tegas para pihak pelindung pejabat.

Sang pejabat melepas kacamata hitamnya, sedikit memicingkan mata untuk beradaptasi dengan sinar matahari yang menyilaukan pandangan matanya. “Jadi begini ya, Bapak-Ibu sekalian,” beliau membuka suara, “semua keluhan itu tidak bisa saya wujudkan satu per satu karena di luar kendali saya.”
“Loh, kenapa, Pak? Bukannya Bapak ini wakil rakyat?” tanya salah seorang warga, heran.
“Karena saya tidak memegang kendali semua pihak yang bersangkutan. Penyelesaian permasalahan itu ‘kan ada bagiannya masing-masing,” jawab Sang Pejabat dengan santai.
“Kalau begitu tinggal Bapak sampaikan saja keluhan kami ke pihak yang bersangkutan?”
“Tidak mudah, Pak. Ada banyak prosedur yang harus dilewati dan akan memakan banyak waktu. Saya ‘kan juga punya atasan, nanti harus sesuai kesepakatan atasan-atasan saya,” balas Sang Pejabat sebelum menyadari adanya kesalahan pada kalimatnya dan segera membenahi, “maksudnya kesepakatan bersama untuk kesejahteraan rakyat.”

Para penduduk terdiam sejenak berusaha mencerna jawaban dari Sang Pejabat. Sekarang, Sang Kakek Tua berbaju partai yang angkat bicara, “ini ‘kan juga untuk kesejahteraan rakyat, Pak. Sesuai konstitusi negeri ini, Pak. Kami tahu peraturan kebijakan dibuat untuk kebaikan masyarakat, tapi kami belum mendapat semua dampak kebaikan itu. Dana bantuan sosial kami juga lama turunnya. Kami jadi bingung harus minta tolong kepada siapa lagi selain pada Bapak yang menjanjikan kesejahteraan empat tahun lalu.”
“Tapi saya tidak bisa seenaknya mengambil keputusan, Pak. Harus ada kesepakatan dengan pihak pejabat lainnya, jadi mohon bersabar.” Sang Pejabat tampak kewalahan dengan semua keluhan rakyat.

Baca juga:  Entah Setan Mana yang Mendengar Doaku

“Lantas, Bapak jelaskan saja fungsi Pancasila kepada pihak pejabat lainnya? Agar mengerti peran Pancasila dalam kesejahteraan rakyat. Bapak paham konstitusi dan demokrasi, bukan?” solusi salah seorang rakyat yang tentunya tidak didengar oleh Si Pejabat.
“Betul itu Pak, demokrasi. Bukan masalah kesepakatan bersama yang diambil dari suara terbanyak, tetapi dari semua suara yang harus didengar. Masa dari kesepakatan itu tidak ada yang mendengar suara rakyat? Katanya negeri ini demokrasi dan memiliki konstitusi. Dalam Undang-Undang Dasar yang menjadi konstitusi itu ada Pancasila, loh, Pak. Sila kedua dan sila kelima.”
“Atau jangan-jangan Bapak takut sendiri dengan pihak pejabat lainnya? Bapak tidak berani mengutarakan keluhan kami?”
“Loh, kenapa takut begitu, Pak? Bapak ‘kan mewakili hak suara kami.”
“Bapak ini pejabat negara bukan kacung negara, kenapa takut berpendapat di depan pejabat lainnya?”

Baca juga:  Antara Dendam dan Cinta

Bising.
Suara masyarakat mulai bising memenuhi gendang telinga Sang Pejabat. Menuduh macam-macam yang tentu sangat mengganggu Sang Pejabat.

“Loh, kenapa ini? Semua tuduhan itu tidak benar,” balas Si Pejabat lalu melanjutkan, “saya berjanji akan membenahi semua keluhan Bapak-Ibu apabila saya terpilih lagi nantinya. Maka dari itu saya berjanji akan memberi kesejahteraan bagi para Bapak-Ibu semua di sini.”

Beberapa orang dari pihak Sang Pejabat mengangkut satu per satu kardus dari bagasi mobil. “Nah ini, ada baju partai saya untuk Bapak-Ibu sekalian. Jangan lupa pilih saya, ya.”
“Hah? Baju partai lagi?” ujar Si Kakek Tua sembari memandangi baju partai yang sekarang ia gunakan dengan baju partai yang sedang dibagikan, bermotif sama hanya berbeda di beberapa bagian tulisan.

Sekeras apapun masyarakat mengangkat suara, rasanya hanya cuma-cuma saja. Masyarakat bagai orang bisu yang kesulitan menyampaikan pesan.
Karena ketika para bisu bicara, akan kalah dengan dengungnya musik kekuasaan. (*)


 

Disclaimer

(Cerpen Karangan Essenza telah dipublikasikan di situs Cerpenmu)

Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.

TAGGED:
Bagikan berita ini

KANTAMEDIA CHANNEL

YouTube Video
Bsi