PENCURI itu menengok ke kanan dan kiri, selanjutnya meloncati pagar yang lumayan tinggi. Perlahan didekatinya jendela, diambilnya obeng dan peralatan lain yang sudah dipersiapkan. Kembali dia melihat ke kanan dan ke kiri, diam sebentar mengambil nafas, kemudian bergegas membobol jendela. Dalam hitungan detik, jendela sudah bisa dimasuki.
Pencuri memang sudah menjadi profesinya. Dia sangat menikmati pekerjaannya. Menjelang hari raya, dia harus lebih hati-hati. Bukan hanya kepada penghuninya, tapi lebih kepada masyarakat sekitarnya. Dia lebih senang dan memilih mencuri di perumahan mewah, tidak ada penjagaan dari warga. Mereka lebih mengandalkan satpam untuk menjaganya.
Sebagai pencuri dia tidak mau berkonspirasi dengan sesama pencuri. Sangat riskan dan berbahaya. Jika temannya tertangkap dia juga secara otomatis akan tertangkap atau paling tidak menjadi buron. Oleh polisi, dia diklasifikasikan sebagai pencuri level ketiga, pencuri yang belum pernah tertangkap. Sepertinya polisi sudah punya daftar pencuri level pertama dan level kedua.
Pencuri level pertama itu sebenarnya penjambret yang sering beroperasi di pasar atau tempat keramaian, sedangkan pencuri level kedua adalah pencuri yang mencegat korbannya di tempat sepi. Dia tidak mengetahui apakah masih ada level pencuri di atas level tiga. Kalau ada, dapat dipastikan pencuri tersebut jauh lebih hebat darinya.
Dari primbon Jawa yang dipelajari, dia meyakini malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon saat yang tepat untuk melancarkan aksinya. Dia pun tidak lupa selalu memanjatkan doa sebelum melakukan aksinya.
“Ya… Tuhan, mudahkanlah aku dalam melaksanakan pencurian, lindungilah aku, jangan sampai aku tertangkap, sebesar 2.5 % dari hasil yang aku peroleh akan aku sumbangkan kepada masjid atau yayasan yatim.”
Sudah beberapa hari dia mengamati rumah yang akan dijadikan sasarannya. Rumahnya cukup mewah, berlantai dua, berada di kompleks perumahan yang penjaganya relatif sedikit. Penghuninya hanya berdua, lelaki yang sudah lanjut, dia taksir usianya diatas 70 tahunan dan wanita muda yang umurnya jauh di bawahnya. Dia kurang tahu apakah wanita itu istrinya, selingkuhannya atau anaknya.
Malam itu, penghuninya hanya lelaki itu sendiri, wanita muda yang biasa menemaninya pergi bersama lelaki muda dengan mengendarai mobil berkelas yang biasa diparkir di depan rumahnya. Kamar di lantai dua terlihat redup, artinya lelaki yang ada di kamar sudah berada di tempat tidur. Tidak terlalu sulit dia masuk rumahnya melalui jendelanya sudah dibuka. Ditutupnya kembali jendela. Pada lantai satu, dilihatnya barang-barang ada. TV yang cukup besar, mungkin ukurannya 70-79 inch, jam berdiri dengan tinggi sekitar 2 meter yang dilindungi dengan kayu jati dan perabot rumah tangga lainnya. Dia tidak tertarik untuk mengambilnya. Barang-barangnya terlalu besar. Memang dia hanya berniat mengambil barang-barang yang kecil tapi cukup berharga. Apakah jam tangan, cincin, emas, uang atau yang lainnya. Pokoknya yang mudah dibawa.
Dia yakin barang-barang berharga berada di lantai 2, di kamar penghuninya. Perlahan dia menuju lantai 2. Dirabanya pistol yang berada di jaketnya. Dia melihat kamar setengah terbuka. Perlahan, pintunya didorong. Dilihatnya seorang laki-laki terbaring di atas ranjang. Di atas meja terserak barang-barang: HP, laptop, uang kertas, arloji, asbak dengan puntung rokok, obat-obatan, cemilan, secangkir kopi yang tinggal separoh.
Dia menuju lemari yang tidak jauh darinya dengan tetap memperhatikan lelaki yang berbaring. Tiba-tiba lelaki di ranjang mengerang dan membuka mata. Tangan kanannya menyelinap ke bawah bantal, sepertinya akan mengambil sesuatu.
“Jangan bergerak,” ujarnya. Saat mengucapkan intonasinya sangat tenang seperti orang sedang berbicara. Pistol kaliber 38mm diarahkan kepada lelaki itu.
“Angkat tangan!”
Lelaki itu bangun dan duduk di ranjang serta mengangkat tangan kanannya ke atas kepala.
“Angkat tangan dua-duanya.”
Lelaki itu masih tetap mengangkat satu tangan kanannya.
“Saya hitung sampai tiga kali, satu, dua, tiga. Cepat! Sekarang!”
“Saya tak bisa mengangkat tangan yang sebelah kiri.” Jawabnya.
“Kenapa?”
“Bahu sebelah kiri saya rematik, mendekati lumpuh.”
Beberapa saat, pencuri berdiri diam, memindahkan pistol ke lengan sebelah kiri.
“Aduh.” Pencuri teriak dan meringis menahan sakit.
Laki-laki itu menatap wajah pencuri. Antara percaya atau tidak, wajah pencuri itu memperlihatkan wajah kesakitan ketika memindahkan pistolnya.
“Kalau kau mau mencuri, kenapa tidak langsung saja? Ambil yang kamu mau. Aku tidak mungkin melawanmu. Pistolku sudah kamu ambil, lagi pula aku sudah terlalu tua untuk berkelahi.”
Pencuri itu melirik laci. Dia menatap laki-laki di ranjangnya. Tiba-tiba dia meringis kembali, menahan sakit.
“Kita sepertinya senasib.”
“Tangan kiriku juga rematik. Penyakit itu sudah akrab denganku sejak lama.” Kata pencuri melanjutkan.
Pencuri itu menyeret kursi yang tidak jauh darinya dan duduk berhadapan dengan laki-laki. Duduk tidak tidak terlalu dekat, laras pistol tetap diarahkan kepadanya.
“Siapa pun akan langsung menembakmu saat engkau tidak mengangkat kedua tanganmu. Kecuali aku, tentu saja.”
“Sudah simpan saja pistolmu. Aku tidak mungkin melawanmu.”
Pencuri menyimpan pistolnya dan pistol milik lelaki di depannya ke dalam saku jaket bagian dalam.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.