Tiga tahun lebih aku menunggu kabar dari sahabatku itu. Aku hanya mengingat saat melepas Sendu menaiki sampan ke kota. Matanya bulat berbinar dan dia berteriak, “Aku akan pulang dan menjadi ustadzah di kampung ini!”. Aku tak bisa menahan tangisku, mungkin aku lebih percaya pada mimpinya dibanding dirinya sendiri. Dia adalah caraku melihat harapan.
Pikiranku kacau, tapi keputusanku bulat. Di mataku, hami tidak hamil, sukses tidak sukses, dia tetaplah Sendu sahabatku. Aku menerobos ke barisan warga yang berdiri penasaran. Aku sangat hapal tata letak rumah Sendu. Aku menyelinap di balik jalan kecil menuju dapur, dan akan langsung masuk ke kamarnya seperti yang selama ini kulakukan. Hingga terdengar suara, “Berhenti, Tini!”. Aku sangat kaget.
Aku melihat Bang Tahir memelototiku. Tubuhku merinding ketakutan. “Pulang!” perintahnya. Aku merapatkan tanganku memohon kepadanya,
“Ku mohon, Abang…” Aku mulai menangis. Bang Tahir menggeleng. “Pulang!” perintahnya lagi. Aku terus memohon, sementara Bang Tahir kukuh.
“Tidak! tidak ada yang boleh bertemu dengannya sampai selesai rapat dan sidang adat”. Badanku merosot, aku hanya ingin melihatnya dan menanyakan kabarnya. Aku tak peduli dengan cerita-cerita lain tentangnya. Aku ingin Sendu, sahabatku.
Aku pulang dengan gontai, aku menyerah. Adat di kampung kami tertancap kuat seperti jangkar. Aku takut tak ada lagi kesempatan untuk bertemu dengan Sendu. Aku takut dia akan diasingkan, namanya akan dikuburkan, raganya dikutuk untuk tak pernah kembali. Maka selamanya tak akan kudengar lagi tentang Sendu. Dia akan menjadi debu dan dihapuskan riwayatnya dari muka bumi. Mak Haji tak akan pernah diingat memiliki anak perempuan bernama Sendu. Aku lemas membayangkan betapa akan dihinakannya sahabatku itu.
Berhari-hari aku menunggu kabar, warga masih riuh membicarakannya. Berkali-kali pula aku mencoba menemui Sendu, pun selalu gagal. Hari telah berganti minggu, aku hampir gila memikirkannya. Hingga suatu malam, pintu gubuk kami diketuk. Dengan setengah sadar aku membuka pintu. Tampak Bang Tahir berdiri disana. Seketika kantukku lenyap. Aku tahu ini tentang Sendu.
“Ikutlah, ajak Emakmu,” pintanya.
Buru-buru aku membangunkan Emak dan kami telah berjalan menuju rumah Sendu. Dadaku berdegub kencang, kepalaku hampir meledak dengan banyaknya pertanyaan yang mungkin akan kutanyakan pada Sendu. Aku sangat senang, akhirnya kami dapat bertemu. Tapi semua bayangan di kepalaku lenyap kala memasuki kamar Sendu. Kini yang kulihat adalah Sendu yang pucat, dengan dua tangannya diikat, mengangkang, berusaha melahirkan bayinya. Hanya ada Mak Haji dan Mak Ladi yang membantu Sendu.
“Bidan, panggil bidan!” pekikku.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.