NATHAN mengusap tato kecil di punggung tangan kanannya. Sudah tiga kali. Dia terbiasa mengusapnya ketika keraguan muncul di benaknya. Mungkin hanya sugesti semata, tapi dia selalu merasa yakin setelah mengusap tato kecil itu. Tapi malam ini berbeda, dia tidak siap menjumpai wanita berhijab yang akan muncul dibalik pintu sesaat setelah ia mengetuk pintu kayu di depannya.
Tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka. Nathan terus saja mengingat percakapan mereka di mobil sewaktu dirinya mengantar wanita itu ke rumah. “Kayaknya kita ndak bisa lanjut, mas”. Kalimat itu terus saja terulang di kepalanya. Itulah yang membuat dirinya ragu untuk menemui wanita itu.
Nathan mengusap tato kecilnya sekali lagi, kemudian mengetuk pintu kayu dihadapannya. Hari ini dia tidak berniat menuntut penjelasan. Sejak awal, sejak wanita itu mengungkapkan kalimat itu, dia tidak berniat menuntut penjelasan. Nathan sudah menduga, entah dirinya atau wanita itu, pasti akan mengungkapkan kalimat perpisahan itu.
Pintu kayu itu terbuka, Nathan tersenyum ketika mendapati wanita berjilbab itu berdiri dihadapannya.
“Maaf lama ya, Mir. Tadi mas mikir dulu mau ngomong apa,” Nathan membuka percakapan. Dia tersenyum canggung, sementara Amira, wanita berjilbab itu, tertawa kecil. “Tumben banget dipikir dulu kalau mau ngomong.”
“Duduk, mas.” Amira mempersilakan Nathan untuk duduk di kursi teras. Nathan belum pernah masuk ke dalam rumah Amira. Dia tidak pernah dipersilakan untuk masuk ke rumah. Nathan tidak pernah bertanya. Toh, Nathan suka mengobrol di depan rumah Amira sembari merok*k atau sekedar melihat para tetangga Amira.
“Emang mas nggak pernah mikir dulu kalau ngomong?”
“Seinget Mira nggak pernah sih. Asal aja gitu”
Mereka tiba-tiba tertawa. Canggung. Tidak lama kemudian mereka diam. Bingung. Nathan tidak menyangka akan mengawali obrolan perpisahan ini dengan obrolan tidak jelas, seperti mikir dulu sebelum ngomong. Baik Nathan maupun Amira sama-sama tidak suka suasana canggung. Mereka terbiasa mengeluarkan becandaan tidak jelas ketika canggung. “Asikin aja, mas. Jangan canggung-canggung gitu, Mira ndak suka“. Tapi Nathan tidak percaya Mira dan dirinya akan mengeluarkan becandaan disaat seperti ini.
“Kita aneh ya. Mau pisah malah becanda canggung gini,” Nathan membuka suara sambil mengusap tatonya lagi. Mata Nathan memandang kedua punggung tangan yang bertaut. Keheningan menyelimuti dua insan yang sebentar lagi akan berpisah.
Almira berdeham, mengalihkan perhatian Nathan dari tangannya. Nathan mendapati Almira melirik dirinya. Mata mereka bertemu sesaat kemudian. Kemudian tawa kecil kembali terdengar.
“Mas mau minum apa?”
“Kopi yang biasanya kamu buat. Rasanya enak”
“Lah, itu kan kopi instant rasanya enaklah”
“Beda rasanya,”
“Jangan kopi ah, udah malem. Nanti mas nggak bisa tidur”
Nathan tersenyum. Sudah lama sekali rasanya mereka tidak berdebat masalah kopi ataupun rok*k. Almira memang tidak pernah melarang Nathan merok*k atau minum kopi setiap hari. Tapi terkadang, mereka berdebat sedikit masalah kesehatan. Ah, Nathan bakal rindu saat-saat itu nanti.
“Bisa kapan-kapan minum kopinya, kalau mas mampir ke sini Mira buatin”
“Rasanya udah beda, Mir. Nanti mas dateng sebagai temen, bukan pacar kamu lagi. Buatin aja, daripada kita malah ribut. Katanya mau pisah secara damai. Nggak lucu kalau kita ributnya Cuma gara-gara kopi.” Almira tertawa, tawanya menular ke Nathan. Selalu begitu.
“Aku buatin dulu”
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.