Nathan tidak menanggapi, dia memandang Almira masuk. Rasanya, waktu berjalan begitu lambat tadi. Tapi sekarang, saat Almira meninggalkan dirinya masuk ke rumah, dia tiba-tiba merasa waktu berjalan dengan cepat. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk segera kembali begitu secangkir kopi buatan Almira sudah habis. Kalau boleh, dia tidak ingin menyesap kopi itu sedikitpun. Tapi dia sadar, dengan begitu dia tidak akan pernah sanggup untuk berpisah dengan Almira.
Secangkir kopi Almira, entah kenapa, begitu istimewa bagi Nathan. Rasanya berbeda. Dia tidak pernah merasakan sebelumnya. Nathan tahu, Almira tidak suka rasa pahit. Dia bahkan tidak pernah minum kopi. Nathan sadar kalau rasa manis di secangkir kopi Almira disebabkan karena ketidakmampuan Almira membuat kopi. Almira pernah jujur kepada Nathan, dia tidak bisa membuat kopi.
“Maaf, ya, mas. Rasa kopinya mungkin manis banget, Mira enggak bisa buat kopi, dan Mira rasa rasanya pas buat Mira, kalau kemanisan enggak usah diminum ya.”
Tapi nyatanya, secangkir kopi Almira menjadi candu baginya. Nathan sering kali meminta Almira membuatkan kopi sebelum mereka berangkat bekerja. Nantinya, mungkin, secangkir kopi Almira akan selalu menjadi candu bagi Nathan. Tapi apa mungkin rasanya akan sama?
Tak lama, Almira datang dengan secangkir kopi di tangannya. Tiga hari lamanya Nathan tidak mencium bau kopi buatan Almira. Dia rindu, tentu saja. Untungnya dia sempat menikmati secangkir kopi Almira untuk terakhir kalinya.
“Ternyata benar ya, mas,” ucap Almira sambil menyerahkan secangkir kopi untuk Nathan.
“Apanya?” Nathan langsung menyesap kopi itu. Tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Dia harus segera pulang.
“Kata Marcell.” Nathan mendapati Almira menerawang jauh. “Mas tahu Marcell ‘kan? Yang penyanyi itu loh,” kali ini Almira menatap Nathan.
“Tuhan memang satu, kita yang tak sama” Almira mengakhiri kalimatnya, atau lebih tepatnya lirik lagu, dengan tertawa kecil. Pahit. Dia kembali menerawang jauh. Nathan juga tersenyum. Pahit. Dia membenarkan kalimat Almira.
Mereka diam dengan pikiran masing-masing. Lama. Sangat lama. Tidak ada kata yang muncul setelah itu.
Nathan bertanya-tanya apa yang dipikirkan Almira sekarang. Sesekali dirinya melirik Almira yang terus-terusan menerawang jauh sembari menyesap kopinya. Demi Tuhan dia harus segera menghabiskan secangkir kopi Almira ini. Dia tidak ingin pikirannya terus-terusan memikirkan tentang masa lalu. Ya, Nathan sedang memikirkan masa lalu saat ini. Dia teringat bagaimana keduanya bertemu di kafe dengan stasiun Yogyakarta. Dia teringat marahnya Almira ketika tahu dirinya membuat tato salib di punggung tangannya, walau kemudian Almira memuji tato itu. “Tatonya kecil, bagus, mas”. Ah… dia benci mengingat masa lalu.
Tanpa sadar cangkir kopi itu telah kosong. Nathan tidak pernah meminum kopi secepat itu. Dia selalu menikmati. Tapi malam ini, dia menikmati tentunya, tapi dia tidak sadar setiap kali memikirkan tentang masa lalu ia selalu menyesap kopinya.
“Setelah kita pisah mas bakal gimana?” Almira memecah keheningan, sekaligus menyadarkan Nathan. Dia meletakkan cangkir kopinya di meja yang memisahkan jarak mereka.
“Cari yang lain. Mas harus nikah, biar nggak dikejar-kejar mulu sama ibu bapak. Kamu?”
“Belum kepikiran sih, mas. Nikmati aja dulu hidup,” pandangan Almira tiba-tiba bertemu dengan Nathan. “7 tahun ini mas nyesel nggak kenal Almira?” (***)
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.