AKU menyeruput perlahan kopi dari cangkirku. Sesaat menyebar ke seluruh permukaan lidah. Rasa pahitnya justru membangkitkan gairah, nikmat. Seperti pagi ini, hadirmu dalam segelas kopi membuat hatiku bersyukur, nikmat yang berlipat.
Peristiwa itu terjadi setahun yang lalu. Namun masih membekaskan luka di hati kami. Luka yang kian hari membuat jarak antara aku dan Gita.
Kami akhirnya dikaruniai seorang putri cantik setelah delapan tahun pernikahan. Buah hati pertama kami adalah harta berharga dalam hidupku. Membuat kami sangat bahagia dan selalu memanjakan putri kami yang bernama Tasya. Matanya bulat, rambutnya hitam lurus, dan bibir mungilnya mewarisi senyum manis mamanya. Setiap hari selalu ada tingkah Tasya yang membuat kami tertawa.
Kami layaknya keluarga kecil kerajaan yang bahagia. Makan, bermain, menonton film, dan membacakan cerita sebelum tidur. Rutinitas biasa itu tak pernah terasa membosankan. Namun, kegiatan yang kami sukai adalah bermain pasir di pantai. Tasya suka menari di pantai, lalu ia mengubur sebagian kakinya dengan pasir. Memandangnya adalah hal terindah dalam hidupku. Aku kecanduan dengan tawanya yang riang, hingga mampu menghapuskan lelah dan penat seusai bekerja.
Pagi itu kami berniat pergi ke pantai. Tasya selalu menyiapkan perlengkapannya sendiri meski umurnya belum genap empat tahun. Baju ganti, topi, serok pasir, dan juga tongkat peri-nya. Dia sangat bersemangat untuk membuat istana pasir.
Setelah memarkirkan mobil, aku bersiap turun. Tasya yang tidak sabaran mondar-mandir disisi mobil sambil melompat seperti kelinci. Istriku pun menggandeng tangan Tasya agar kelinci kecil ini tak lepas kendali.
“Ayo papa! kita ke pantai. Tasya mau buat istana yang besaaar!” rajuk Tasya padaku.
“Sabar ya, sayangku,” jawabku sambil membuka bagasi mobil dimana kita menaruh perlengkapan pantai disana.
Tiba-tiba, bola pantai menggelinding keluar dari bagasi ke jalan.
“Papa! bolanya, bolanya jatuh.”
Tanpa diduga, Tasya melepas genggaman mamanya dan berlari mengejar bola yang mengelinding tanpa memperhatikan sekitar.
Braak.
Sebuah mobil menabrak Tasya dan menambah kecepatan setelah aku berteriak untuk berhenti. Aku tidak lagi mempedulikan mobil itu dan berlari menuju Tasya yang tergeletak tak berdaya dengan darah segar keluar dari kepalanya. Istriku menangis histeris. Kami dengan cepat membawa Tasya ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong.
Sejak kejadian itu kami banyak diam. Tidak ada lagi tawa, senyum, dan senda gurau. Kehidupan kami berbalik 180 derajat seperti film monokrom tragedi. Aku membodoh-bodohkan diriku sendiri kenapa peristiwa itu bisa terjadi. Begitu pula dengan Gita yang terus dihantui perasaan bersalah. Dia selalu menghindari tatapanku. Bersikap dingin seolah dirinya ikut meninggal bersama Tasya dan hanya menyisakan raga dan air mata.
Namun aku tidak bisa membiarkan duka mempengaruhi kehidupan aku. Jadi, seperti malam-malam sebelumnya, aku berganti pakaian jogging kemudian memakai sepatu lari kesayanganku. Kupasang headseat di telinga lalu aku berlari mengitari bukit golf yang tidak jauh dari rumah. Ada beban yamg terlepas saat aku bernafas. Ada energi yang terserap setiap kakiku menginjak bumi. Lalu aku bisa membiarkan air mataku berjatuhan bersama peluh keringat. Ada rasa perih yang menyayat palung hatiku. Sambil kupejamkan mata kuucap maafkan Ayah, Tasya.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.