Aku berpikir keras apa yang harus aku lakukan. Mungkin sebaiknya aku memberinya waktu sendiri. Kucoba mengirimkan surat yang kutulis dengan tanganku sendiri. Berharap semoga hatinya bisa tersentuh.
Untuk istriku tercinta,
Gita
Assalamualaikum Sayang,
Sayang, begitu banyak cobaan yang telah kita lalui bersama.
Tentu kamu masih ingat bagaimana kita mencari restu ke mama papa.
Ribuan cara mereka gunakan untuk memisahkan kita. Namun selalu gagal karena cinta kita begitu kuat.
Masih ingat doa-doa yang kau langitkan saat aku koma tiga hari karena kecelakaan?
Bahkan saat aku berada di titik rendah dan hanya bisa mendengar suaramu, kamu mampu memberiku kekuatan.
Juga Betapa berat perjuangan kita untuk mendapatkan keturunan. Tekanan dari keluarga dan masih banyak lagi selama delapan tahun, Gita. Itu bukan waktu yang sebentar.
Bukankah kita sepatutnya bersyukur sayang?
Kini cinta kita kembali diuji. Musibah terhadap Tasya terjadi atas izin Allah. Kita harus bersabar. Kalaupun ada yang disalahkan dalam kejadian ini, akulah yang paling pantas disalahkan.
Sayang, berhentilah menyalahkan diri sendiri. Aku masih ada di sampingmu, mencintaimu selalu. kita bisa menghadapi ini bersama. Meskipun Tasya sudah tiada. Kita tetap orangtuanya. Tentunya kita bisa memberi contoh yang baik bahwa mama dan papa nya adalah orang yang kuat yang selalu menyayanginya hingga kita dipertemukan kembali di surga.
Sayang, pulanglah. Kembalilah padaku. Kita akan lewati ini bersama. Cobaan yang mendera bukan untuk melemahkan. Tapi untuk saling menguatkan. Jadikan aku suami yang terbaik bagimu.
Dari aku yang merindukanmu.
Rama
Tiga hari kemudian.
Kuambil cangkir kopi. Kututup dengan kepalan tangan. Kuhirup aromanya melalui sela-sela jari. Aromanya membawaku pada kenangan indah bersama Gita. Istri cantikku yang manja dan penuh tawa. Kuhirup lagi lebih lama, aromanya membawaku pada kenangan bersama Tasya dan kebersamaan kami. Aku menyeruput dan meresapinya. Seolah tegukan kopi bisa meringankan beban kesedihanku.
“Assalamualaikum.” Suara itu sungguh menggetarkan jiwaku.
Aku menoleh ke belakang lalu terkejut melihat sosok yang sangat kurindukan berdiri di depan pintu dengan senyumannya. Aku langsung memeluk erat, mengucapkan hamdalah, dan mencium keningnya sangat lama. Kami berpelukan dan menangis bersama.
“Tolong jangan pernah pergi lagi.” Ucapku lirih di telinganya. (*)
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.