Aku memilin ujung rambutku yang tergerai indah. Batinku memberontak kapan sih ibu bisa mengertiku tanpa sehari saja membela Bayu. Ada rasa kasihan menggerayang, menyergap hatiku secara menggebu. Bukan soal adikku yang menghilang dari pandanganku, melainkan perasaan ibu.
Ibu membelai penuh sayang kepalaku. “Nak, mana ada orangtua di dunia ini yang menginginkan anaknya berkebutuhan. Pasti kita –sang orangtua berharap sempurna, baik-baik, tak cacat fisik maupun mentalnya. Tetapi ini anugerah dari Tuhan, titipan yang tak patut disia-siakan. Termasuk Bayu, dia anak yang istimewa di keluarga kita,”
Hening menyelimuti atmosfer ruangan. Ucapan ibuku ada benarnya, namun sampai saat ini aku belum bisa memutus daur kebencianku itu. Semua terpatri rapi di sanubari.
Ahh.. bukannya mendapat inspirasi malah semakin tak jelas gumpalan hitam mengawang di pikiran. Mulutku meracau mencemooh Bayu yang begitu istimewa menurut opini ayah dan ibu.
Terdengar raungan keras membelah kesunyian malam. Bak dentuman meriam di tengah kehampaan manusia. Aku terjaga dari alam khayalanku. Bunga tidur yang kuuntai begitu indahnya mendadak lenyap seketika.
Dipan kasur terasa runtuh karena frekuensi suara yang begitu memekakkan telinga. Ah, sudahlah, aku tak peduli lagi perihal tangisan itu. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya aku bisa tidur lagi tanpa ada gangguan yang menghalangi.
Begitu aku ingin memejamkan mata, pikiranku mengawang jauh menembus kegelapan angkasa malam. Teringat tugas yang belum terlaksana. Begitu maha dahsyat Sang Kuasa mengingatkanku ketika beranjak terlelap.
Bu Ratna meminta murid 93 untuk menceritakan secara sederhana tentang keluarga yang dimilikinya. Aku menimang-nimang pilihan, akankah kuungkapkan kekejaman takdir yang Tuhan uji pada Bayu? Entahlah.
“Argh.. apa yang harus kutulis di atas kertas putih ini!” aku menggerutu sembari meninju pelan kepalaku. Baru sebaris tinta hitam mengukirkan tulisan sudah kucoret dan menggantinya dengan yang baru. Kalau ibu tahu, mungkin beliau akan menasehatiku habis-habisan perihal pemborosan yang kulakukan.
Karena tak kunjung menemukan ide tulisan lain, kuuntai seadanya secara lancar kalimat yang tersusun dari otakku. Aku berandai, ibaratnya Bayu terlahir sempurna seperti adik-adiknya temanku, pasti ayah dan ibu tetap adil membagi kasih sayangnya tanpa kurang tanpa cela.
Tanpa sadar aku mengatupkan mataku tak berpikir lagi dimana aku tidur. Sebelumnya kertas putih yang penuh dengan rangkaian kata kupindahkan ke tempat yang lebih aman, supaya aku tidak membentuk pulau di atas situ.
Gema suara azan terdengar sayup memecah keheningan fajar. Menggetarkan jiwa setiap insan untuk menunaikan kewajiban. Bergegas aku mengambil air wudhu dan menunaikan salat fardhu, untuk memunajatkan doa pada sang kuasa. Kokok ayam bersahut-sahutan menyambut mentari. Detik jam terasa begitu cepat di atas pusara waktu. Tak disangka waktu telah menunjukkan pukul 06.00
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.