SECANGKIR kopi hangat dan sepiring gorengan kecil buatan Weni dinikmati perlahan dalam lamunan oleh pak Hanif sore itu. Ada rasa yang menelusup kalbu saat pak Hanif menatap wajah ayu Weni. Walau kulitnya sedikit hitam dan kusam, namun kilau senyumnya selalu menawan hati. Kebaikannya terpancar dari hati yang tulus dan polos. Ya Weni namanya. Dia adalah asisten rumah tangga anak pak Hanif yang sudah bekerja dua tahun setengah di rumah anaknya.
Semenjak istrinya meninggal empat tahun yang lalu pak Hanif sering berpindah-pindah dari rumah anaknya. Dari ke empat rumah anaknya pak Hanif paling betah tinggal di rumah putri bungsunya. Alasan awal pak Hanif betah di rumah putri bungsunya karena dekat dengan klinik tempat ia berobat.
Sejak istrinya meninggal pak Hanif mengidap Autophobia. Sehingga ia harus melakukan terapi setiap minggu. Autophobia itu sendiri adalah rasa takut terhadap kesendirian atau cemas untuk merasa kesepian. Fobia ini membuat pak Hanif senantiasa membutuhkan orang lain untuk merasa aman.
Selama ini Weni lah yang menemani dan mengurus segala keperluan pak Hanif di rumah. Karena kebaikan dan kejujuran Weni dipercayai sepenuhnya oleh putri pak Hanif untuk menjaga ayah dan anak-anaknya saat ia bekerja di kantor.
Sejak empat bulan terakhir pak Hanif sudah menaruh hati kepada Weni. Rasa cintanya kepada Weni sudah tak bisa dibendung lagi. Pagi itu usai menikmati secangkir kopi buatan Weni Pak Hanif dengan bibir bergetar mengungkapkan kalau ia ingin memperistri kan Weni sebagai istrinya.
Langkah Marni terhenti, tangannya menjadi kaku dan tubuhnya mendingin serasa peredaran darah di dalam tubuhnya berhenti saat ia mendengar ucapan terbata-bata pak Hanif. Marni melihat dengan jelas rona kesepian di wajah pak Hanif. Matanya yang berkaca-kaca seakan mengisyaratkan Weni untuk menerima cintanya.
Hati Weni bingung dan mengiba lalu ia terdiam seribu bahasa. Weni terjebak oleh situasi yang tidak memungkinkan ia untuk menjawab akan ketulusan hati pak Hanif.
“Bagaimana dengan ibu Fera majikanku! Kalau ia tahu pak Hanif ingin menikahiku.” pikirnya sedih dan bingung.
“Kalau aku menolak pasti pak Hanif sedih.” Sambung Marni dalam hati.
“Bagaimana Weni! Kau bersedia kan menikah denganku?” Ucap pak Hanif memecah kebisuan.
Plaaaak!!! bunyi suara gunting jatuh dari tangan Weni.
Ucapan pak Hanif mengejutkan sekaligus menghentakkan dada Weni yang sedang menggunting bunga di teras depan. Weni menarik napasnya, lalu melepaskannya agak berat.
“Sulit aku menjawabnya, Pak. Tapi, aku merasa heran, kok bisa-bisanya bapak jatuh cinta kepada saya.” Jawab polos Weni tanpa memandang pak Hanif.
“Selama ini aku merawat dan menjaga bapak karena tugasku sebagai seorang pembantu. Lagian aku sudah menganggap bapak itu seperti ayahku sendiri.” Sambung Weni yang masih membelakangi pak Hanif karena ia tak mau melihat wajahnya.
Penolakan tak menyurutkan tekad pak Hanif untuk mendapatkan hati Weni. Ia Terus berusaha meyakinkan Weni kalau ia benar-benar mencintainya walau usia telah senja.
“Apa karena aku sudah tua, sehingga kau tak mau menikah denganku.” pungkas pak Hanif mendekati Weni.
Weni yang semakin tersudut dengan pertanyaan pak Hanif memalingkan wajah takutnya ke arah pak Hanif lalu menggelengkan kepalanya yang menandakan kalau tua bukan faktornya.
“Lalu apa yang memberatkanmu untuk menikah denganku.” Sambung pak Hanif yang semakin penasaran. Weni tak menjawab ia hanya menundukkan kepalanya.
“Apa karena Fera kau takut menikah denganku?” tanya pak Hanif yang mulai curiga karena Weni menolaknya.
“Perkara Fera kau tak perlu khawatir, itu semua bisa saya atur.” Sambung pak Hanif yang semakin menggebu akan keinginannya untuk menikahi Weni.
Weni semakin ketakutan dengan keinginan pak Hanif yang terus memaksanya. Buliran keringat dingin mulai terlihat di wajah Weni saat ia mendengar bunyi klakson mobil ibu Fera. Weni yang belum sempat menjawab pertanyaan pak Hanif langsung berlari menuju gerbang membukakan pintu untuk ibu Fera majikannya.
Weni menghempaskan tubuh lelahnya di kasur dan memandang langit-langit kamarnya. Dia teringat dengan perkataan pak Hanif yang terus mendesak keinginannya. Weni tidak menyangka sama sekali kalau pak Hanif akan senekat itu mengajaknya untuk segera menikah.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.