Seutas Tali

Penulis: Noor Adha Satrio

SEORANG pemabuk itu berwajah reot, rambutnya ikal tidak rapi dan bibirnya hitam legam akibat ribuan rok*k kretek yang dihisapnya selama ia hidup. Dua kawannya berambut gondrong dan acak-acakan pula. Tiga manusia itu terus menenggak arak-arak yang dituangkan ke sloki kecil dan dilemparkannya air-air itu masuk dan mengalir melalui kerongkongan masing-masing sambil bersulang sebelum ritualnya dimulai lambat-lambat.

Aku hanya diam, menatap mereka di balik kaca jendela kamarku ini, di lantai dua rumahku yang mungil. Tak bosan sedari tadi aku memandang jalan-jalan di depan kediamanku yang dipenuhi oleh orang-orang yang bersuka-ria dengan air-air dewa yang aku jual selama beberapa tahun lamanya sebagai tonggak utama mata pencaharian. Aku hidup sendiri. Urusan asmara bisa aku lampiaskan di rumah-rumah bord*l yang remang-remang di sudut kota. Murah dan tanpa merana.

Di satu sudut jalan itu, kulirik dua perempuan yang wajahnya dipoles sedemikian rupa sehingga mirip bungkusan permen yang berlumur tanah. Wajah yang coklat itu dilapisi bedak. Dua perempuan itu berambut panjang, sangat lurus seperti tangkai sapu. Warna tangan dan leher serta kakinya sangat berbeda jauh dengan wajah yang sangat mereka bangga-banggakan itu. Hotpants dan kaos ketat si kupu-kupu malam itu membungkus tiap lekuk-lekuk tubuh mereka, yang juga semakin meyakinkanku bahwa mereka bak bungkusan permen yang hidup. Dilumuri tanah juga tentunya.

Baca juga:  Penutup Wajah Shakila (Bagian 1)

Ada pula dua lelaki hidung belang yang membuka lebar-lebar mulutnya. Tawanya terbahak-bahak. Entah apa yang mereka semua sedang bicarakan. Aku bingung. Kulihat-lihat dua lelaki itu sangat mirip. Aku sangat yakin mereka kembar. Hidungnya aneh. Persis buah jambu air di depan rumah tetangga sebelahku. Bibirnya sama-sama mengatup rok*k dengan bara merah di ujungnya. Perutnya buncit karena air-air dewaku tak pernah absen berkecipuk di lambungnya setiap akhir pekan. Pipinya gempal dan bulat. Rambutnya pendek dan daun telinganya lebar. Guratan-guratannya pun mirip. Pasti banyak orang yang sukar mencari perbedaan di antara si kembar itu.

Terang rembulan kali ini begitu lembut mencium manusia-manusia merdeka itu dengan cahayanya yang indah. Bintang-bintang berkelap-kelip, bertebaran dan terhampar luas di langit yang gelap, kian menambah kilau keindahan lengkung langit itu. Jalanan masih saja ramai lalu lalang kendaraan, simpang siur, riuh, dan gaduh, ramai oleh para pemabuk dan perempuan panggilan. Derum dan bising kendaraan benar-benar tak mengganggu pikiranku yang berkelana sangat jauh. Sungguh jauh jaraknya bagi setiap orang, kecuali bagi setiap pikiran. Ya, pikiranku berkelana ke masa lalu, tujuh hari lalu tepatnya. Sejenak aku masih bimbang dan terus menimbang-nimbang. Pantaskah aku melakukan ini?

Pagi itu, di pagi yang gelap dan buta, di mana fajar belum memperlihatkan secercah cahayanya, aku sudah harus menuju ke rumah juragan arak untuk memasok lebih banyak lagi. Sendiri, dengan pikap putihku. Kenapa jadi aku yang menjemput air-air nista itu? Kemarin aku menerima pesan singkat yang masuk ke ponselku. Ternyata sang juragan sedang terkena demam berdarah. Jelas saja nyamuk-nyamuk mau mengisap darahnya melalui kulit yang berkerut itu, lingkungan rumahnya saja kumuh dan kotor. Lebih mirip seperti gubuk-gubuk kambing. Sampah-sampah, air yang keruh menghitam dan menggenang dihiasi jentik-jentik nyamuk kecil yang berenang-renang ke sana ke mari seperti anak-anak di wahana kolam renang.

Baca juga:  Gerutu Tin di depan Keranda Tan

Mataku benar-benar buyar, pandanganku samar. Aku hanya melihat remang lampu jalanan membentuk bulat cahaya di aspal yang disorotinya. Pohon-pohon terlihat seperti bayangan, direngkuh pekatnya kegelapan di pagi itu. Penglihatanku yang buruk pagi ini bukan tanpa sebab. Semalam aku minum banyak untuk menjamu kawan lamaku yang datang jauh dari luar kota. Arak-arak yang kujual mengalir juga ke tenggorokanku dan menendang-nendang lambungku ini. Panas sekali, tapi nikmat. Banyak orang yang bilang, “yang dilarang itu yang nikmat.”. Ah, persetan dengan larangan-larangan.

Aku memperlambat laju kendaraanku untuk sejenak menyalakan linting tembakau yang aku apit pada dua jariku. Kunyalakan pula musik supaya aku tetap terjaga, tidak menjauh ke sisi jalan dan menabrak pohon-pohon. Aku mengangguk-angguk mengikuti irama musik dangdut ini. Ketika jeda berhenti pada pergantian lagu, kudengar sayup-sayup adzan berkumandang. Beberapa unggas pun berkokok, tak mau kalah dari nyaring suara si muadzin. Musik berlanjut, berdentum keras di gendang telingaku, syahdu dan asyik bukan kepayang. rok*k kusulut lagi, kuhisap terus dan kepulan asapnya hancur diterjang angin-angin yang masuk melalui kaca mobilku yang terbuka. Arak-arak ini semakin bereaksi saja. “Bangsat benar arak ini,” umpatku. Aku iseng menyalakan dan memadamkan lampu kendaraanku ini, mengikuti irama khas dangdut yang merasuk ke tubuhku begitu nikmat.

Baca juga:  Si Waras yang Ingin Jadi Gila

Ketika jari-jariku lincah memainkan tombol nyala-padam lampu, dan laju kendaraanku yang kencang menerpa kabut-kabut jalanan, aku seperti menabrak sesuatu. Diikuti teriakan pula! Sontak saat itu pula kuinjak pedal rem sedalam-dalamnya. Badanku condong ke depan dan jidatku membentur keras stir sialan ini. Aku kaget dan gelisah, ketika kulihat ternyata seorang anak kecil yang mengenakan mukena itu telah tergeletak beberapa meter dari kendaraanku. Badannya bersimbah darah dan tak lagi berbentuk seperti tubuh manusia pada umumnya. Merah itu terus mengalir deras dari tubuhnya. Mukena yang putih kini benar-benar berwarna darah. Aku sangat takut dan bingung. Lalu kupacu mobil ini sekencang-kencangnya, berbalik arah menuju rumahku. Si juragan pasti kecewa, tapi masa bodoh dengan itu. Aku sangat panik, tolol, dan ketakutan sejadi-jadinya! “Sialan!”.

Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.

TAGGED:
Bagikan berita ini

KANTAMEDIA CHANNEL

YouTube Video
Bsi