Seutas Tali

Penulis: Noor Adha Satrio

Sudah tujuh hari sejak kejadian itu. Aku mengurung diri di kamar. Bila pelanggan tiba, kuteriak dan kusuruhnya mengambil sendiri arak dan meletakkan uang-uangnya ke saku kulkas. Para pelanggan terheran dengan seisi rumahku yang kosong, semua kutukar untuk uang, hanya menyisakan kulkas dan sisa-sisa beberapa botol arak. Aku tetap terbayang pada wajah anak itu yang masih terus saja menghantui lamunanku setiap malam. Wajah yang lugu itu menjadi begitu menakutkanku ketika terlintas di benakku dari kepalanya terus mengalir darah. Dua hari yang lalu aku kembali mengunjungi tempat kejadian itu dengan motor bututku. Masih membekas merah darah itu di jalan. Aku bertanya pada petani tua yang duduk di sisi jalan:

“Permisi, ini darah bekas apa ya jika boleh saya tahu?” Tanyaku berpura-pura tak tahu.
“Maaf nak, bukannya aku tidak ingin menjawab,” tukas Pak Tua, suaranya parau, “tetapi bila mengingat kejadian itu, aku benar-benar tak kuasa.”
“Memang kenapa pak?” tanyaku gundah.
Sejenak orang itu menunduk. Melepaskan cengkeraman pada cangkulnya. Terlihat mata itu tak lagi kuat membendung peluh yang membanjir, terisak kemudian, lalu menjawab tanyaku seraya mengusap linangan air mata itu.

Baca juga:  Rindu Ramadhan

“Beberapa hari lalu, aku dan cucuku pergi untuk shalat subuh. Usai beribadah, aku menantangnya berlari menuju ke rumah untuk segera menyantap nasi hangat dan ikan yang telah kumasak sebelum bersembahyang ke masjid.”
Hatiku terguncang, menebak-nebak. Kutimpali pernyataan itu dengan tanya:
“Lalu?”
“Lalu karena cucuku berlari kencang, ia tak sempat memperhatikan laju kendaraan di jalanan ini. Dan,” tetap menunduk dengan raut wajah Pak Tua yang kian sedih, “semua itu terjadi. Kini benar-benar sebatang karalah aku. Hidup dalam kesendirian. Semoga ia selalu bahagia. Bergabung dengan orang tuanya dan istriku di surga.”

Baca juga:  Kasus Meja Di Titik Buta

Tangisnya semakin menjadi-jadi. Sebenarnya waktu ini juga aku ingin membuat pengakuan, tetapi kuurungkan niatku karena aku tak ingin membuat kesedihan dan amarahnya semakin memuncak. Setelah sedikit menenangkannya, aku berbalik menuju kediamanku.

Runyam sekali hidupku. Pelik dan bodoh. Aku masih saja memandang orang-orang di depan rumahku yang masih asyik dengan dunianya. Tak sama halnya dengan duniaku yang kini muram dan kelabu.. Baru kali ini jiwaku terasa sangat teriris-iris karena mengingat wajah itu. Wajah Pak Tani dan cucunya yang nahas itu. Seluruh hasil barang yang kujual kuhibahkan padanya melalui Pak RT setempat. Tak usahlah Pak Tani mengetahui aku yang tolol ini. Malah semakin menambah beban hidupnya saja. Andai saja, oh andai saja. Apa lagi mau dikata?

Baca juga:  Kontingen FBIM Kotim Dilepas, Bupati Targetkan Juara Umum

“Woy turun kau cepat! Lepaskan tali itu dari lehermu!” Teriak si pemabuk reot padaku. Kutimpali teriakan itu dengan senyum yang semu, lalu kutendang kursi di bawah kakiku ini. Aku tergantung kuat, dadaku sesak. Aku meronta-ronta, tapi tali ini terlampau beringas menjerat leher. Rasa-rasanya tepat di depan wajahku ada malaikat yang meringis dan bertepuk tangan kegirangan menunggu saat-saat seperti ini. Seutas tali ini sedikit demi sedikit menggesek kuat seutas nyawaku yang hanya tinggal menunggu putus saja. Semua kedap, pandanganku pekat, hitam dan kelam menjadi sendu dan kian kelabu. Gelap. (***)

Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.

TAGGED:
Bagikan berita ini

KANTAMEDIA CHANNEL

YouTube Video
Bsi