LAGI-lagi, Riswan bangun pagi saat matahari telah meninggi. Seperti belakangan waktu, selain memanaskan masakannya, ia juga menjerang air dengan kompor gas. Sudah menjadi kebiasaannya untuk menyeduh kopi dan menyesapnya dengan santai, sampai pagi berlalu. Sebagai seorang pengangguran, ia memang tak punya pekerjaan di luar rumah yang membuatnya harus cepat-cepat mempersiapkan diri untuk menerjang kemacetan kota.
Sesaat kemudian, saat ia telah mengaktifkan jaringan ponselnya yang senantiasa ia matikan sebelum berbaring di kasur agar tak ada yang mengganggu tidurnya, ia pun mendapatkan notifikasi pesan masuk ke alamat surelnya. Sebuah pesan dari perusahaan dengan lowongan pekerjaan yang telah ia daftari. Maka dengan perasaan yang berdebar, ia pun membuka surel itu dan menemukan kabar yang seketika merusak ketenteramannya. Ia dinyatakan tidak lulus.
Namun sementara waktu, ia tak ingin memastikan apa-apa. Ia berharap-harap saja kalau pesan pengumuman yang ia dapatkan itu adalah sebuah kesalahan teknis. Untuk itu, ia lantas mengecek laman situs web perusahaan dan mencari rilisan lembar pengumuman yang lengkap. Dan senyatanya, memang bukan namanya yang tertera di kolom kelulusan pada sebuah posisi kerja yang sangat ia dambakan dan ia yakini akan menjadi pekerjaan barunya.
Seketika pula, ia digerogoti perasaan kecewa yang teramat memilukan. Ia benar-benar tak menyangka kalau ia akan dikalahkan seorang kandidat yang lain. Karena itu, ia pun menaruh kekesalan kepada Hamdi, sahabatnya yang merupakan karyawan di perusahaan tersebut. Pasalnya, ia telah memberikan sejumlah uang pelicin kepada teman baiknya semasa kuliah itu untuk menjamin kelulusannya, tetapi faktanya malah sebaliknya.
Dengan penuh kemarahan, setelah hanya mencuci muka dan mengenakan jins serta kaus oblong, ia lalu mengendarai mobilnya dan melaju menuju ke kantor Hamdi. Ia ingin meminta keterangan dan pertanggungjawaban Hamdi atas kenyataan yang terjadi, atau sekadar meminta pengembalian uang pelicinnya. Ia benar-benar kesal dan kehilangan kepercayaan kepada teman baiknya yang sukses berkarir di perusahaan itu. Ia sungguh tak rela dipermainkannya.
Akhirnya, di sepanjang perjalanan, ia kembali merutuki Tuhan atas nasibnya yang nahas dalam perkara pekerjaan. Ia menyalahkan Tuhan yang memberinya takdir yang buruk, sehingga ia tak lulus menjadi PNS atau pegawai BUMN, sehingga ia harus luntang-lantung di antara perusahaan-perusahaan swasta, sehingga ia belum juga menekuni sebuah pekerjaan yang menjamin, sehingga ia belum juga merasa mapan untuk menikah dan membangun keluarga.
Kisahnya dalam dunia kerja, memang cukup berwarna. Tiga tahun yang lalu, ia berhasil mendapatkan pekerjaan keempatnya di sebuah perusahaan swasta dengan gaji yang lumayan. Ia bekerja dengan sungguh-sungguh, hingga ia mendapatkan kenaikan jabatan dengan pendapatan yang makin tinggi. Karena merasa kehidupannya akan baik-baik terus dengan pekerjaannya itu, ia lantas membeli sebuah rumah yang sederhana dan mencicil sebuah mobil baru.
Tetapi sial. Enam bulan yang lalu, ia mesti menelan kenyataan yang pahit. Saat jabatannya sudah cukup bergengsi, ia malah diberhentikan. Itu terjadi karena perusahaan ritel tersebut, sedang mengalami permasalahan keuangan, sehingga terpaksa melakukan pemangkasan jumlah karyawan, termasuk dirinya. Sejak saat itu pula, ia tak bekerja.
Selama menganggur, ia tentu berusaha mendapatkan perkerjaan baru yang mempersyaratkan kriteria yang sesuai kompetensinya. Dengan berbekal surat keterangan pengalaman kerja dari perusahaan terdahulu, ia lalu melamar posisi di sejumlah perusahaan. Tetapi sayang, tak satu pun yang berhasil ia dapatkan di tengah persaingan kerja yang ketat.
Karena tak tahan menganggur, dua bulan yang lalu, ia pun mengesampingkan gengsinya dan mengontak Hilman yang merupakan personel bidang SDM pada sebuah perusahaan yang ia minati. Ia lantas menguraikan kepelikan hidupnya dan memohon agar Hilman mengupayakannya bekerja di perusahaan yang sama. Ia bahkan menawarkan sejumlah uang sebagai pelicin untuk membujuk pihak pengambil keputusan dalam penerimaan karyawan. Dan akhirnya, Hilman bersedia membantunya.
Tetapi ternyata, kesanggupan Hilman hanyalah omong kosong. Nyatanya, ia gagal juga menjadi karyawan di perusahaan tersebut. Padahal, ia sudah sangat membutuhkan pendapatan baru di saat tabungannya makin terkuras untuk membayar cicilan mobil. Karena itulah, ia jadi sangat dongkol dan ingin menumpahkan kemarahannya kepada lelaki tersebut.
Hingga akhirnya, setelah perjalanan sekitar lima belas menit, Riswan pun sampai di kantor Hilman. Ia kemudian menelepon Hilman dan menyatakan kalau ia sedang menunggu di lobi gedung untuk membicarakan persoalan yang ia yakin Hilman pun tahu.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.