SISA-sisa Subuh masih menggelayut manja di kaki langit yang semakin memerah. Sang surya dengan perlahan sudah mulai menampakkan wajahnya dari balik cadar merah yang dipintal dari benang-benang keputusasaan. Penduduk kampung satu per satu mulai melakukan aktivitas hariannya. Ada yang hendak berangkat ke sawah dengan membawa berbagai peralatan seperti timba kecil yang digunakan untuk menyiram tanaman bawang. Ada pula yang mencangking timba berukuran sedang sebagai wadah untuk mengumpulkan cabai rawit yang habis dipetik. Ada pula yang membawa arit untuk menyiangi rumput-rumput liar.
Capung-capung mulai beterbangan di atas pematang sawah, pertanda sudah mulai memasuki musim penghujan. Bongkol-bongkol jagung sudah dipetik, dan tanah akan segera dibajak kembali untuk ditamani padi. Aku baru saja membuka gorden jendela depan rumah saat sebuah berita duka mampir di telinga. Dari corong toa masjid yang menaranya tinggi itu aku mendengar bahwa Pak Paidi meninggal dunia pukul dua dini hari tadi. Sontak aku seperti disambar petir. Sebab Isya semalam aku masih sempat mengobrol dengan Pak Paidi, dan kelihatannya dia baik-baik saja.
“Siapa yang meninggal dunia, Mas?” istriku yang sedang menanak nasi di magicom setengah berteriak dari ruang tengah saat bertanya padaku.
“Pak Paidi, Bun.” Aku mengaitkan ujung gorden yang telah kuikat dengan tali pita pada pengait kuningan.
“Pak Paidi?!” Kening istriku mengernyit. Wajahnya tak percaya.
Aku mengangguk.
“Memangnya Pak Paidi sakit apa?”
Aku mengangkat kedua bahuku. Aku tidak ingin salah dalam berbicara soalnya selama ini aku tidak pernah mengurusi hidup orang lain. Pekerjaanku saja mengalami pasang surut seperti lautan. Boro-boro mengurusi rumah tangga orang. Yang penting selama ini aku tidak ngutang sana-sini.
Kadang menurut keyakinan orang-orang lemah iman, kematian bisa datang kepada siapa pun dan kapan pun. Meskipun orang tersebut tidak sakit, bisa saja Malaikat Izrail meminjam nyawanya untuk dibawa kepada Tuhan. Tapi, secara teoritis baik dalam pandangan gaib pun mustahil seseorang meninggal tanpa perantaraan sakit. Bisa jadi kita yang kurang update soal riwayat sakit seseorang, dan kita menganggap mereka sehat walafiat. Seperti misalnya Pak Paidi. Aku yakin kalau dia selama ini memiliki penyakit seperti penyakit jantung atau ginjal, dan dia tidak menunjukkan rasa sakit yang dialaminya di hadapanku. Dia tersenyum, namun sebenarnya dia meringis kesakitan. Aku saja yang egois dan tidak mau tahu tentang sakit yang diderita oleh seseorang.
Untuk mencari kebenarannya, aku harus melayat.
—
Air mata Hayati tak terbendungkan saat gadis itu menatap jasad ayahnya yang telah terbujur kaku di atas pembaringan. Jasad tak bernyawa itu telah ditutupi oleh sehelai kain sampir. Keluarganya juga menangisi kepergian Pak Paidi yang sangat singkat. Sementara orang lain, terutama tetangga yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, terlihat sibuk membuat berbagai hidangan. Mulai dari menanak nasi, membuat hidangan buat si mati, dan menyeduh minuman untuk para pelayat yang hadir silih berganti bagai air bah. Beberapa orang ada yang melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Suara mereka tidak jelas mirip tawon. Entah itu disengaja karena terlalu fasih membaca Al-Quran atau memang karena faktor buta huruf. Aku masih berdiri seperti tiang bendera diantara para pelayat. Aku masih tidak percaya apakah benar Pak Paidi telah meninggal dunia.
Seseorang dari belakang menepuk pundakku sehingga membuatku sedikit terkejut, atau seperti tersadar dari sebuah mimpi buruk. Orang itu memiliki senyum yang menyejukkan, dan wajahnya memiliki tatapan yang meneduhkan. Aku heran, kenapa orang ini justru tersenyum sedangkan yang lain sibuk mempersiapkan pemakaman. Lalu orang dengan wajah meneduhkan itu mengajakku untuk berdiri di dekat pohon mawar yang mengeluarkan aroma busuk.
“Siapa Anda? Apakah Anda malaikat?” aku bertanya kepada orang dengan wajah yang meneduhkan itu. Dia mengulum senyum. Tidak mengiyakan, juga tidak menidakkan.
“Aku bukan seorang malaikat, Tumin.” Jawabnya dengan menyentuh bahuku.
“Lalu kalau Anda bukan malaikat, siapa? Saya tidak pernah bertemu dengan Anda sebelum ini, dan Anda sepertinya bukan warga kampung sini,” aku masih belum terlepas dari rasa heranku terhadap orang asing itu.
“Saya bukan malaikat maupun orang suci, Tumin, tapi saya adalah orang yang akan menjawab atas pertanyaan yang terbetik dalam pikiranmu.”
“Memangnya Anda bisa membaca pikirang orang? Atau Anda adalah cenayang?”
Lelaki itu justru tergelak melihat rasa heranku semakin menjadi.
“Di dunia ini tidak ada seorang pun cenayang atau yang orang bilang sebagai indigo. Itu adalah sebuah kebohongan. Hamba Allah yang bisa melihat hal-hal gaib, hal-hal gaib yang aku maksud adalah bisa melihat surga, neraka, padang mahsyar, jin, lauhul mahfuz, dan alam kubur hanyalah para nabi dan rasul yang tujuannya untuk menyampaikan kepada umatnya agar manusia beriman. Selain itu adalah sebuah kebohongan yang besar sebab tujuannya adalah untuk bisa makan dan hidup enak di dunia.” Orang dengan wajah menyenangkan itu menatapku yang tampak bodoh.
“Baiklah.” Aku langsung terbeli dengan penuturannya.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.