Ara masih terdiam bergelut dengan pikirannya sendiri. Banyak hal yang ia pikirkan dan bayangkan termasuk skenario ‘kalau saja…’. Ara berhenti dan menatap wajah ayahnya yang tersenyum melihatnya. Kalau saja diberikan waktu untuk mengulang kembali, Ara juga rasanya tidak akan sanggup. Mana mungkin ia mengulang untuk berpisah kembali. Ya, ini memang sudah jalannya kan?
Pada akhirnya, ini semua hanya sebuah permulaan.
Ara yang harus berdamai dengan keadaan serta waktu,
Ara yang harus berdamai dengan dirinya sendiri,
Dan Ara yang harus berdamai dengan kenangannya bersama ayah.
“Ayah, dari banyaknya hal yang aku lalui bersama ayah dan keluarga kita.. aku bersyukur bisa berada di keluarga ini. Dari banyaknya cerita, tawa, sedih, marah dan segala emosi yang aku rasakan.. Ayah tetaplah ayahku. Ayah tetap menjadi laki-laki pertama yang aku cinta.” Ara kembali terisak, air matanya mendesak keluar hingga matanya memerah dan bulir-bulir itu jatuh begitu saja tanpa dapat dibendung.
“Ayah, aku tidak ingin mengulang lalu. Meskipun hati kecilku ingin sekali merasakannya kembali. Sejauh apapun ayah saat ini, ayah hanya akan menjadi ayahku dan selalu menjadi ayahku.” Ara menepuk pundak sang ayah. Ditatapnya ayah dengan tatapan sok tegar, ya setidaknya meskipun menangis, ia tak begitu terlihat terpuruk. Ya setidaknya itu kepercayaan Ara.
“Ara, ayah tidak pergi jauh. Ayah selalu ada disini, terpatri dalam hati dan jiwamu. Ayah sejatinya dekat dan tetap melekat untuk mengasihimu. Seperti kasih sayang seorang ayah, ayah akan tetap melindungimu, jadi jangan terpuruk terlalu lama.. karena ayah tak kemana-mana” Ayah tersenyum tipis dan mendekap Ara yang yang menangis dalam diam, dibalasnya pelukan sang ayah dengan erat.
“Ara! A-ara!” Ara mengerjapkan matanya beberapa kali, sangat berair. Diusapnya kedua kelopak matanya lalu segera duduk melihat sekeliling kamarnya. Yang pertama kali ditangkap oleh nanarnya ialah bunda yang nampak khawatir, matanya berkaca-kaca dan mengguncang pundak Ara.
“Bunda?” Sedikit bingung melihat bunda, bunda kenapa ya?
“Ara tidak apa-apa kan?” Ara terdiam, dilihatnya sebelah kiri kasur ada bingkai foto sang ayah dan kakinya yang sedikit berpasir. Dahinya berkerut, matanya mulai berair kembali.
“Bun, waktunya sudah habis ya?”
Disclaimer: Cerpen Waktunya Sudah Habis, Karangan Anindita Satya dikutip dan telah pernah dipublikasikan di situs Cerpenmu
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.